“Kali Pisang Batu memang harus ada petugas yang jaga, enggak bisa ditinggal. Kalau ada petugas yang rutin, sampah terkelola, terangkut,” kata Dodi.
Baca juga: Saling Lempar Tanggung Jawab Aparat soal Sampah Kali Bahagia
Di samping itu, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng di Kabupaten Bekasi yang sudah over kapasitas sejak tiga tahun belakangan membuatnya perlu memutar otak untuk mengatasi sampah Kali Pisang Batu dan kali-kali lainnya.
"Kalau kami beli mobil (truk sampah) banyak, pimpinan bakal kabulkan, tapi mobil kan enggak bisa masuk juga karena TPA Burangkeng overload. Dengan keterbatasan anggaran dan SDM yang ada, inilah kita," ujar Dodi.
“Alat berat di TPA Burangkeng sangat kurang. Kami cuma punya 7 unit, idealnya minimal ya 18-20,” imbuhnya.
Sekretaris Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan, Mawardi, menengarai bahwa sampah yang memadati Kali Bahagia tak hanya dihasilkan warga yang tinggal di bangunan liar. Sampah-sampah itu juga bersumber dari pedagang kaki lima di dekat Pasar Marrakash, Pondok Ungu.
“Di sana kan ada jembatan. Kalau sore isinya PKL semua. Malam, kan kita enggak tahu, mereka daripada buang sampahnya ke TPS (tempat penampungan sementara) harus jalan 10 menit lebih, lewat jembatan buang saja. Itu yang paling gampang kan,” kata Mawardi, Selasa lalu.
Contoh tadi menunjukkan, persoalan sampah memang tak bisa dilepaskan dari perilaku warga.
Dalam sejumlah kesempatan, Dodi selalu berharap agar segala kritik mengenai sampah di sungai jangan melulu diarahkan pada jajarannya.
“Persoalan ini kan bukan hanya masalah (bidang) kebersihan saya, itu kan juga masalah masyarakat setempat. Ketua RT, RW, desa, camat, harus ikut bergerak juga. Kalau petugas kami yang turun, masyarakat pasti buangnya di situ lagi. Artinya enggak ada keterlibatan masyarakat sekitar untuk peduli dan menjaga agar sampah tidak dibuang di situ,” kata Dodi.
“Kerahkanlah semua masyarakat. Mereka yang buang, mereka yang harus tanggung jawab, jangan pengin buangnya doang. Kalau dibiasakan masyarakat nonton doang, kami yang angkut, nanti dia buang lagi,” tambah dia.
Sekilas, alasan Dodi dapat dimaklumi. Namun, bukan tak mungkin perilaku warga seperti itu karena minimnya jumlah TPS (tempat pembuangan sementara). Hingga Januari 2019, Kabupaten Bekasi hanya punya 15 TPS yang tersebar di wilayah seluas 1.200 km persegi.
Bukan pemandangan yang asing, ketika seseorang melintas di jalan-jalan Kabupaten Bekasi, sampah-sampah anorganik teronggok di pinggir jalan. Beberapa unsur masyarakat yang enggan wilayahnya jadi TPS jadi-jadian memasang spanduk dilarang buang sampah. Namun, kepeduluan warga dan sebaran TPS resmi yang sedikit membuat spanduk tersebut sia-sia belaka.
Baca juga: Keroyok Sampah Kali Bahagia, Petugas Angkut 50 Ton Sampah
Dodi menyebutkan, TPS memang penting dibangun secara tersebar agar warga dapat membuang sampah dengan mudah. Apalagi, dengan luas wilayah sekitar 1.200 km persegi, setara 6 kali luas Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi hanya punya satu lokasi tempat pemrosesan akhir (TPA), yakni di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu.
Truk sampah boleh jadi menempuh perjalanan lebih dari 2 jam dari Kali Pisang Batu atau Kali Bahagia menuju TPA Burangkeng.
“TPS memang harus disiapkan sebelum ke Burangkeng. Yang siapkan harusnya ya, camat atau lurah. Dipikirkan juga yang jaga TPS siapa. Bagi tugas, harus sinergi semua pihak,” kata Dodi.