Memang, kita semakin terbiasa menghadapi pro dan kontra. Tapi masalahnya, kenapa pemangku kebijakan tidak berani melakukan pilihan yang tepat, benar, dan sesuai kebutuhan negara modern?
Padahal potensi nuklir di Indonesia besar. Sedikitnya 60 ribu ton uranium dan 130 ribu ton cadangan thorium bersarang di perut bumi negeri kita.
Batan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejak lama melakukan kajian penggunaan energi nuklir sebagai energi alternatif yang lebih murah. Pada akhir 1990-an di masa pemerintahan Soeharto, isu pembangunan PLTN sempat berembus. Ternyata belum terlaksana sampai kini.
Lagi-lagi, kita seharusnya sadar, pro dan kontra PLTN itu juga terjadi di negara maju.
Bukan tidak mungkin, energi nuklir yang murah diserang oleh proxy korporasi raksasa yang tidak ingin kehilangan bargaining ekonominya sebagai pemasok belasan juta batu bara ke PLTU (Perusahaan Listrik Tenaga Uap) seperti Cirebon Elektrik Power, General Energi Bali, Paiton 3, Paiton 7 dan Paiton 8, Pembangkit Jawa Bali (PJB), Jawa Power, Indonesia Power, dan pembangkit lainnya.
Nilai ekonominya buat pemasok batu bara seperti Adaro Indonesia tentu tidak sedikit. Belum lagi pemasok raksasa lainnya.
Kita sudah terbiasa menjadi bodoh, dan dibodoh-bodohi sebagai bangsa. Tak salah bila Belanda menjajah kita tiga setengah abad lamanya.
Kita dipecah-pecah melalui devide et impera terhadap kerajaan-kerajaan, keraton, dan puak-puak etnis yang punya pengaruh.
Pada pertengahan 2018, setelah melakukan studi banding ke Jepang, Badan Energi Nasional bertekad akan menyiapkan road map atau peta jalan PLTN. Padahal energi alternatif sangat mendesak.
Pembagunan PLTN pun butuh waktu yang cukup panjang. Pertanyaannya, kapan masyarakat mendapatkan energi alternatif yang murah? Mungkin menunggu bahan bakar fosil habis terlebih dahulu, barulah PLTN dibangun
Gugatan Class Action
Dari keterangan yang disampaikan PT PLN, pemadaman kali ini di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah, terjadi karena karena Gas Turbin 1 sampai 6 Suralaya mengalami trip atau gangguan, sedangkan Gas Turbin 7 dalam kondisi mati.
Akibatnya pasok listrik ke Jabodetabek dipadamkan. Di Jawa Barat gangguan terjadi pada Transmisi SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) 500 kV.
Pemulihan listrik bervariasi di tiap wilayah operasi. Perkiraan pemadaman listrik akan sembuh Senin malam sekitar pukul 19.00 wib, namun tidak juga terjadi.
Seorang tetangga di komplek saya tinggal, terpaksa menghibur dirinya dengan membawa anjing kesayangannya keliling, dipandu senter yang setengah redup. Mungkin begitulah caranya untuk menghibur diri. Melakukan hal yang nyentrik di tengah kegelapan sekaligus simbol protes.
Satu hal yang terpikir oleh saya, adakah warga negara yang akan melakukan gugatan perdata kepada PLN dengan kejadian pemadaman kali ini? Pastilah isi kulkas di rumah warga ada yang menjadi busuk, setelah lebih delapan jam listrik tak nyala, bahkan ada yang sebelah jam lebih.
Aktivitas produktif mereka terkendala. Masih banyak sisi kerugian lain yang dapat dicermati.
Saya teringat pertengahan tahun 1980-an, adanya class action terhadap PLN karena seringnya pemadaman listrik di Medan.
Tahun 2009, tiga pengusaha di Lampung juga mengajukan gugatan class action terhadap PLN. Penyebabnya, pemadaman listrik dalam rentang waktu cukup lama.
Di tempat lain, Aceh pada tahun 2014 juga terjadi class action. Gugatan memang penting, terlepas dikabulkan atau tidak.
PT PLN sebagai pemegang otoritas monopoli listrik akan menjadi paham, betapa operasi PLN tidak boleh melakukan kesalahan, apalagi pemadaman masif. Alamat celaka bila benar-benar terjadi seperti kali ini.
Di era keterbukaan ini, publik juga paham bahwa tidak sedikit pejabat PLN yang tersangkut masalah hukum seperti Dirut PLN Eddie Widiono dan Nur Pamudji.
Kasus terakhir, Dirut PLN Sofyan Basir terkait proyek PLTU Riau 1. Imajinasi publik tak salah bila punya referensi terhadap tindakan pidana petinggi PLN.
Kelirunya pencitraan
Sebagai bangsa modern yang tengah berpacu menuju era pasar bebas, kita tidak bisa abai bahwa kita belum beranjak dari pengalaman tradisional.
Sebagian masyarakat kita masih percaya tahayul, seperti yang diungkapkan budayawan Mochtar Lubis dalam ceramah Manusia Indonesia di TIM, April 1977. Rasanya, kita belum jauh beranjak jauh.