Peradaban kita sebagai bangsa masih berada pada jalur yang tradisional. Tak jarang kita belum menggunakan akal sehat sebagai parameter melihat persoalan.
Selalu saja masih ada unsur mistik dan tahayul. Itu pula yang mungkin membuat hoaks mudah menyebar secara tepat, sebab lebih mementingkan perasaan, kebencian, dan hasultan pada saat menyebarkan sesuatu.
Tak mau mencerna, atau bertanya lebih dalam. Tidak melakukan cek dan ricek kembali.
Menarik untuk mengutip cirri-ciri utama Manusia Indonesia seperti dipaparkan Mochtar Lubis. Pertama, munafik atau hipokrit, contohnya perilaku asal bapak senang (ABS).
Kedua, enggan bertanggung jawab. Ketiga, berjiwa foedal, contohnya anti kritik. Keempat, percaya tahayul seperti keyakinan pada gendoruwo, kuntilanak, jampi-jampi. Kelima, artistik, satu-satunya sifat utama yang baik. Keenam, berwatak lemah yang disebabkan sifat munafik dan foedal.
Anda boleh tidak setuju. Tapi, relevansi ceramah Mochtar Lubis, masih dapat kita rasakan. Dalam contoh yang lebih aktual, betapa banyaknya dari kita yang terhasut oleh isu hoaks atau berita bohong.
Dalam Pilpres yang baru lalu, berita bohong salah satu motor andalan guna memukul lawan politik. Kita masih mudah terhasut oleh kebohongan yang dibungkus sedemikian rupa bentuknya.
Anehnya, buzzer sengaja dimainkan oleh simpatisan petahana maupun pendukung oposisi yang sedang merebut hati rakyat.
Saya terkaget-kaget dengan pengakuan seorang kawan yang lama bekerja di bidang penyiaran, bahwa ia terlibat dalam aksi buzzer dari kedua belah kubu yang bertarung.
Pertarungan untuk menciptakan opini publik, bukan persoalan yang mudah, dan melibatkan dana yang tidak kecil. Ternyata ia mengaku melibatkan buzzer di banyak titik di luar Jakarta dengan teknik penyamaran yang rapi.
Ada pihak yang menyediakan suplai data. Bukan tidak mungkin, masih banyak proxy lain yang bermain kala itu sebagai buzzer.
Kembali ke soal pemadaman listrik, saya yakin ini menjadi isu yang sensitif ke depannya. Bisa jadi buzzer pun akan bermain untuk menggiring opini.
Sebagai negara pemilik demokrasi yang ekstrim, kita akan dapat melihat apa yang terjadi ke depannya. Kedatangan Presiden Joko Widowo ke PLN, Senin (5/8/2019) pagi, hanya menegaskan bahwa PLN tidak berdaya.
Buktinya, pada hari hari itu juga, pemadaman bergilir kembali terjadi. Ironis. Kekecewaan Presiden yang datang bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja, malah menunjukkan public relations pemerintah yang buruk. Kenapa bukan pejabat PLN yang dijewer ke Istana, lalu ekspos besar-besaran?
Lagi-lagi, langkah bidak caturnya salah hitung. Bisa jadi tak ingin kalah langkah dengan Anies Baswedan, atau Bima Arya yang lebih cepat mendatangi obyek yang sedang bermasalah.
Kembali ke persoalan pemadaman listrik, masalah ini bukanlah isu yang sederhana. Bisa jadi ini menjadi isu yang canggih untuk digoreng di hari-hari mendatang.
Bisa jadi, ujungnya nanti ada yang menuding, kesalahan terletak kepada Presiden Joko Widodo yang dinilai tidak becus memimpin negara. Begitulah politik kita yang cenderung kurang cerdas memaknai oposisi. Kita memaknai oposisi sebagai tindakan makar, sebab oposisi menyeret-nyeret wibawa pemerintah.
Untuk mencapai kekuasaan tertinggi, tidak sedikit yang harus dipertaruhkan, termasuk kebohongan kita memangsa bangsa sendiri.
Kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu, bukti bahwa kita masih menjadi bangsa yang kurang beradab. Pertarungan poilitik berujung kekerasan massal.
Tapi kalau kita tanya lebih lanjut, perusuh mungkin akan punya alasan pula, kenapa ada kecurangan masal seperti yang digembar-gemborkan, malah dibiarkan.
Buzzer tak berhenti pada saat Prabowo menerima upaya damai dengan Jokowi. Pihak yang awalnya hidup mati membela Prabowo, tak sedikit yang menyerang balik.
Partai pendukung Jokowo juga takut kehilangan jatah kursi. Politik kita memang baru sebatas bagi-bagi kursi kekuasaan.
Politik belum menjadi ijtihad bagi kemaslahatan rakyat, kemakmuran civil society, dan bangsa kita. Kita masih tersandera masa lalu kita yang centang-perenang, tersangkut banyak hal yang menyisakan masalah, dan mungkin bom waktu.
Peradaban politik kita masih sebatas perebutan pengaruh dan kekuasaan. Entah sampai kapan kotak pandora perpolitikan modern di negeri kita, akan tetap menjadi teka-teki. (R Mulia Nasution. Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis untuk The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Ia pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini. Novelnya Rahasia Tondi Ayahku (Satria 2012,321 hal). Kini bergerak di bidang problem solving, creative marketing, dan public relations)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.