BEKASI, KOMPAS.com - Samar-samar aroma busuk menguar dari sebuah warung bakso di Jalan Rawa Bambu Bulak, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, Senin (12/8/2019).
Sehari usai pemotongan hewan kurban, sejumlah pria tampak sibuk memindahkan kulit-kulit kambing dari warung itu ke mobil boks. Kaki telanjang mereka memijak lumuran garam kasar yang serupa pasir.
Warung tersebut milik Parji (53) yang disulap jadi tempat pengepulan kulit hewan kurban.
Lebih dari lima pria tampak sibuk dengan kulit-kulit aneka warna yang telah dilipat itu. Sekilas, kulit-kulit kambing yang masih menyatu dengan bulunya itu bak karpet beledu, plus bonus bau busuk, tentu.
Baca juga: 7 Kisah Seputar Hari Raya Idul Adha, Hewan Kurban Tendang Orang hingga Sapi Masuk Kafe
"Kami pengepul saja, sudah musiman," ujar Parji, Senin sore.
Sore itu, baru satu mobil boks yang mampir ke warungnya. Demi pendapatan sampingan ini, ia rela satu-dua pekan melepas pekerjaannya sebagai tukang bakso. Besok hingga lusa, kata Parji, bisa ada satu-dua mobil boks lagi yang datang mengangkut kulit-kulit kambing itu. Parji memang khusus menerima kulit kambing.
"Kambing domba sama kambing jawa. Kalau sapi, agak ribet bawanya," ungkapnya.
Parji mengaku telah menekuni usaha sampingan itu sejak 1997. Pria asal Wonogiri, Jawa Tengah itu mengaku hanya memanfaatkan jaringan yang dimilikinya.
Di kampungnya, ia punya seorang kenalan yang rutin menerima kulit-kulit hewan kurban dalam skala besar.
"Kemudian ada orang Surabaya itu, dia nampung (kulit hewan kurban) juga di Bandung. Disamperin ke mari, katanya daripada (distribusi) ke Jawa, ke Bandung saja," ungkap Parji.
"Kalau dulu kami sedikit antarnya, enggak pakai mobil boks, cuma kirim pakai karung saja, titip ke bus," imbuhnya.
Dua dekade lebih bergelut dengan kulit-kulit kambing sisa Idul Adha, tak heran jika lokasi pengepulan Parji sudah tenar di telinga warga. Tanpa perlu sibuk berkeliling ke masjid-masjid, suplai kulit kambing otomatis menghampiri lapaknya. Warga mengantarnya sendiri.
"Kambing domba dia kan kulitnya, bulunya agak tebal, Rp 15.000 saya ambilnya. Kambing jawa Rp 10.000," ujar Parji.
Ia tak mempersoalkan jika kulit kambing yang ditawarkan warga dalam kondisi tidak utuh.
"Sobek masih saya terima Rp 5.000 gitu," kata Parji.
Setelah kulit-kulit beraroma tak sedap itu mampir di warungnya, Parji dan sejumlah kerabatnya langsung melumurinya dengan garam kasar. Garam kasar itu berfungsi sebagai bahan pengawet alami untuk memperlambat pembusukan kulit dan agar kulit tidak bau.
"Sebelum dikirim digaram doang biar enggak bau. Biar kering. Kalau enggak digaram, sehari semalam sudah busuk. Garam kasar saja buat kulit. Abis digarami awet dia, tinggal dilipat lagi. Sebulan-dua bulan enggak apa-apa. Kalau di sini nampung sekitar 2-3 hari sudah diangkut masuk tronton," kata Parji.
Jika suplai sedang banyak, pihaknya bisa mendatangkan tiga mobil boks untuk mengangkut kulit-kulit itu plus lima ton garam kasar senilai Rp 8-10 juta untuk mengawetkannya.
Setelah dibawa ke Bandung, kulit-kulit itu akan diteruskan ke sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur.
"Dari kami langsung begini, masuk tronton gitu. Yang di Bandung kayak gini juga, pengepul, nanti dikirim ke Surabaya. Kayaknya sih yang di Surabaya perusahaan, PT apa ya. Kita ngirimnya ke Bandung doang," ujar Parji.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.