Tujuh tahun jadi guru honorer, Samsudin angkat kaki pada 2013. Katanya, ia kurang cocok terhadap kondisi sekitar. Namun demikian, panggilan jiwanya sebagai pengajar tak ikut surut.
Langkah pertama, ia dan sejumlah kolega membentuk Rumah Baca Bumi Pertiwi di kampungnya, Desa Krasak, Indramayu di rumah pemberian bundanya.
Menurut Samsudin, itu jauh lebih bermanfaat ketimbang menyulap rumah itu jadi kontrakan yang mendatangkan keuntungan materiil sesaat belaka.
“Tapi, beberapa anak sekolah yang keasyikan baca di sini jadi dihukum, karena saat bel sekolah mereka terlambat. Saya tidak enak, sekaligus mikir juga. Kalau saya bergerak di Krasak terus, bagaimana dengan tempat lain? Itu mungkin petunjuk dari alam semesta, petunjuk Tuhan bahwa saya harus bergerak. Akhirnya, saya coba mendongeng ke TK-TK. Dulu, di Indramayu, saya bisa bergerak sendiri,” Samsudin membeberkan.
Pria yang akrab disapa Paman Sam ini mengakui, kondisi itu tak pelak bikin kantongnya cekak.
“Habis daripada saya diam, saya malah sakit. Itu kan malah keluarin duit, mendingan saya gerak. Kalau mendongeng di sekolah-sekolah guru honornya kadang cuma Rp 200.000 sebulan, masa saya tega minta Rp 500.000. Lagian siapa yang mau ngasih? Kebanyakan gratis. Masyarakat anaknya bisa sekolah saja saya sudah senang,” ujar Samsudin.
“Ya jalan saja ke mana. Lalu lihat sekolah yang sepertinya harus dibantu dan diperhatikan karena kumuh, ya saya menawarkan diri. Saya juga berharap guru-guru bisa menyerap pembelajaran dongeng,” kata dia.
“Intinya, ngajar is my life.”
Pilih dongeng konservasi
Selain aktif mendongeng ke sekolah-sekolah kampung dan ogah menerima bayaran, Samsudin bukan anak kemarin sore dalam aktivisme lingkungan. Kiprahnya sudah tertoreh selama beberapa tahun ke belakang.
Tahun 2016, ia mengayuh sepeda dari Jakarta ke Jambi untuk kampanye pelestarian badak. Setahun berselang, sepeda bututnya kembali ia kayuh, kali itu ke Yogyakarta. Samsudin juga sudah meninggalkan jejak di Ujung Kulon, Banten sampai Tenggarong di Kalimantan Timur. Tugasnya tetap: mendongeng.
“Mereka itu Indonesia di masa depan,” ucap Samsudin.
Ketika melakoni tur hasil undangan berbagai LSM konservasi itu, tak jarang Samsudin mendapati hal tak enak. Paling menjengkelkan, katanya, terjadi waktu ia dijadwalkan mendongeng di salah satu sekolah terpandang di Tenggarong.
Baca juga: Mahmudin Jalan Kaki dari Wonosobo ke Jakarta demi Upacara HUT RI dengan Jokowi
“Saya diketawain sama satpam waktu minta izin mau masuk,” tutur Samsudin mengingat kejengkelannya waktu itu.
Namun, di luar tur-tur besar itu, tak terhitung berapa kali Samsudin sambangi sekolah-sekolah di kampung atau mengumpulkan anak-anak di desa. Agendanya sama: mendongengi bocah soal pelestarian lingkungan.