Tepatnya dimulai ketika disepakati Perjanjian Linggarjati di mana tapal batas Bekasi bergeser dari Kali Bekasi ke Kali Ciketing, Sasak Jarang, sebelah timur Bulak Kapal.
Di samping itu, sistem pertahanan yang kalah jauh dibandingkan Belanda membuat para pejuang Bekasi terus terdesak mundur.
Hal itu kian parah ketika Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang mulanya berbagi barak dengan tentara Indonesia, malah memberontak.
Pemberontakan yang menyebar dari Tambun sampai Karawang itu meletus pada 1947 dan menimbulkan perang saudara.
Anggota laskar kemudian ditendang; sebagian besar melarikan diri ke Jakarta.
Saat kekuatan Indonesia mengendur akibat pemberontakan itu, Belanda melancarkan agresi militer pertamanya pada 21 Juli 1947. Pertahanan Bekasi akhirnya bobol sampai Karawang.
"Belakangan baru diketahui, mereka (Laskar Rakyat Jakarta Raya) memang jadi mata-mata Belanda. Setelah peristiwa pemberontakan itu, sebagian melarikan diri ke Jakarta dan bergabung dengan Belanda," ujar Ali.
"Tanggal 21 Juli 1947, posisi mereka ada di lokomotif kereta. Penyerangan saat itu kan lewat jalur udara, mobil dan kereta api. Nah, orang-orang pemberontak itu di kereta api, kelihatan betul di lokomotif".
"Ayah saya melihat sendiri, si ini, si itu, kok dia bersama Belanda, ketika terlihat di paling depan di lokomotif itu," lanjut Ali.
Baca juga: Tugu Sentul Jombang, Monumen Pejuang Kemerdekaan yang Kini Tak Terawat
Pada akhirnya, Belanda memang angkat kaki dari Bekasi. Juga dari republik. Tepatnya selepas agresi militer II pada 1949.
Seiring itu, Bekasi pun dikenang sebagai gelanggang sabung nyawa para pejuang mempertahankan negara.
Fenomena ini bahkan jadi inspirasi berbagai begawan seniman kenamaan Indonesia pada awal masa kemerdekaan.
Komponis Ismail Marzuki juga menggubah tembang berjudul Melati di Tapal Batas.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer pun tak ketinggalan. Ia mewedarkan novel sejarah Di Tepi Kali Bekasi dan Kranji Jatuh.
Pujangga Chairil Anwar mendedahkan sajak lirih nan menggetarkan soal kegigihan para patriot yang gugur di Bekasi dalam Krawang-Bekasi (1948).
Bunyinya, "kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Kenang, kenanglah kami. Teruskan, teruskan jiwa kami. Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir. Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu. Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.