"Per kemarin kita mendapatkan rekor nomor satu untuk hal yang tidak boleh diselebrasikan, yaitu indek kualitas udara terburuk di dunia," kata Sandiaga yang kala itu masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Sandiaga mengemukakan, dari data yang ia dapatkan sehari sebelumnya, Jakarta menempati posisi teratas dalam hal udara yang tidak baik untuk skala dunia.
"Jakarta nomor satu dalam hal yang tidak membanggakan per kemarin. Biasanya posisi teratas itu Bejing, Lahor, New Delhi, dan Daka," ujar dia.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Sebab, selain prakiraan cuaca yang saban hari mengisi konten berita pagi di portal berita, kini masyarakat mulai akrab dengan laporan yang dirilis situs penyedia data polusi udara, www.airvisual.com.
Kompas.com, misalnya, tiap pagi portal ini kerap menyapa pembaca dengan laporan kualitas udara yang dikutip dari www.airvisual.com.
Terbaru diberitakan, kualitas udara Kota Bekasi, Jawa Barat ternyata lebih buruk ketimbang Jakarta pada Kamis (15/8/2019) pagi.
Data AirVisual hingga pukul 08.00 WIB menyebut kualitas udara Jakarta ditandai dengan warna merah (tidak sehat), sedangkan Bekasi ungu (sangat tidak sehat).
Jakarta sendiri tercatat menempati urutan ketiga kota besar dunia dengan polusi udara terburuk dengan tingkat kualitas udara 157.
Jakarta ada di atas Chengdu dan Shanghai, Cina, serta di bawah Hanoi, Vietnam dan Kuwait City. Sementara itu, tingkat polusi udara Bekasi tembus angka 209.
Pengukuran AirVisual terhadap kualitas udara dilakukan menggunakan parameter PM (particulate matter) 2,5 alias pengukuran debu berukuran 2,5 mikron berstandar US AQI (air quality index).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan, ambang batas sehat konsentrasi PM 2,5 di sebuah kota tak dapat lebih dari 25 mikrogram per meter kubik dalam 24 jam.
Konsentrasi PM 2,5 Bekasi jauh melampaui ambang tersebut dengan torehan 159 mikrogram per meter kubik, jauh di atas Jakarta yang konsentrasi PM 2,5-nya "cuma" 66,6 mikrogram per meter kubik.
Dengan tingkat polusi seperti ini, kualitas udara di Jakarta dan Bekasi dapat mengakibatkan gangguan pada paru-paru dan jantung, terutama pada kelompok sensitif dengan risiko tinggi.
Karena itu diperlukan kebijakan kurangi polusi kendaraan untuk perbaiki kualitas udara Jakarta. Seperti yang pernah disampaikan Ivan dalam film pendek Green Religion.
"Makanya harus ada satu yang mencetuskan (kebijakan mengurangi polusi), nanti gereja mendukung saja," katanya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seakan harus putar otak untuk menekan polusi udara di Ibu Kota. Sampai kini, jumlah kendaraan yang beredar di jalan raya masih dituding sebagai biang keladi penyebab meningkatnya gas karbon monoksida.
Atas dasar itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya melahirkan Instruksi Gubernur (Ingub) No 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Polusi Udara.