JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara Publik LBH Jakarta Ayu Ezra akan mencabut gugatan kliennya asal pemerintah dapat memenuhi tuntutan untuk menyusun kebijakan pengendalian pencemaran udara.
Sebagai informasi, gugatan itu diajukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), serta 31 orang yang tergabung dalam Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota).
"Terbuka di tahap mediasi. Kami menuntut kebijakan, bukan uang. Kalau mediasi, pemerintah mau dan mewujudkan semua gugatan dan bisa saja dicabut perkaranya asal semua gugatan dipenuhi," ujar Ayu saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Ayu mengapresiasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas terbitnya Instruksi Gubernur (ingub) Nomor 66 Tahun 2019 yang dikeluarkan pada 1 Agustus 2019 untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.
Meski demikian, menurut Ayu, ingub Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu tidak mengikat secara nasional. Sebab baginya, ingub merupakan solusi jangka pendek yang dilakukan Pemrov DKI.
"Ingub bukan bagian peraturan perundang-undangan sehingga tidak mengikat secara nasional, tapi hanya bagian dari provinsi saja ataupun dinas di bawahnya. Kalau ingub ini metode tapi riset sumber pencemar udara belum ada," katanya.
Baca juga: Sidang Gugatan Polusi Udara Jakarta Dilanjutkan, Perwakilan Presiden dan Gubernur Diharapkan Hadir
Ayu juga mengatakan, pihaknya terbuka apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendak berkonsultasi dengannya untuk atasi masalah solusi Jakarta.
Ia mengatakan bahwa gugatan warga negara (citizen lawsuit) ini menuntut para tergugat melakukan serangkaian kebijakan.
"Memenuhi hak atas udara bersih bagi para penggugat dan 10 juta warga Jakarta lainnya," ujar Ayu.
Para tergugat ini di antaranya adalah Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Serta para kepala daerah yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim.
Kata Ayu, buruknya kualitas udara Jakarta ini salah satunya disebabkan pencemar yang telah melebihi Baku Mutu Udara Nasional (BMUN) yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999.
Baku Mutu Udara Daerah (BMUD) DKI Jakarta sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.
Sebagai contoh singkat, angka konsentrasi PM 2,5 dari Januari hingga Juni 2019 adalah 37, 82 mikrogram per meter kubik. Dua kali lebih tinggi dari standar nasional atau tiga kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut dia, baku mutu udara ini begitu penting karena tingginya parameter pencemar yang melebihi baku mutu akan menimbulkan gangguan kesehatan. Setidak-tidaknya 58,3 persen warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara yang trennya terus meningkat setiap tahun.
Baca juga: Pemprov DKI Optimistis Perluasan Ganjil Genap Perbaiki Kualitas Udara Jakarta
Ayu menyebut, berdasarkan salah satu survei penderita penyakit akibat polusi udara menelan biaya sampai Rp 51,2 triliun.
Angka ini diprediksi akan semakin meningkat seiring memburuknya kualitas udara Jakarta apabila tidak ada langkah-langkah perbaikan dari para pengambil kebijakan.
Ia menyebut para penggugat berharap presiden dapat melakukan revisi PP Nomor 41 Tahun 1999. Sebab, presiden dianggap lalai dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi para penggugat dan seluruh warga DKI Jakarta dengan tidak mengawasi kinerja para tergugat dan turut tergugat dalam pengendalian pencemaran udara.
Sementara untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jajaran ini diminta mengawasi para gubernur dalam hal pengendalian pencemaran udara.
Kemudian Menteri Dalam Negeri dituntut mengawasi, mengevaluasi, dan membina kerja para gubernur dalam hal pencemaran udara.
Menteri Kesehatan agar menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di tiga provinsi.
Lalu untuk Gubernur DKI Jakarta diminta melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.
Serta bagi para gubernur untuk melakukan inventarisasi pencemaran udara, dan menetapkan status BMUD. Ditambah dengan menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.
Lembaga peradilan melalui Majelis Hakim diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk memerintahkan pejabat pemerintahan yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
Kewajiban itu, lanjut dia, dalam kasus mengendalikan pencemaran udara.
Hanya melalui pelaksanaan kewajiban tersebut, menurut Ayu, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dalam hal ini udara bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bagi masyarakat Jakarta dapat terlindungi dan terpenuhi.
"Tepatnya merevisi Baku Mutu Udara Ambient Nasional sebagai upaya peningkatan kualitas udara dan perlindungan kesehatan masyarakat," tutur Ayu.
Adapun Sidang lanjutan gugatan polusi udara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019) ditunda.
Baca juga: Sidang Gugatan Polusi Udara Jakarta Dilanjutkan, Perwakilan Presiden dan Gubernur Diharapkan Hadir
Hakim ketua perkara ini, Saifudin Zuhri, mengatakan, sidang tersebut ditunda lantaran salah satu tergugat (Gubernur Banten) dan penggugat Intervensi (Forum Kota Jakarta) tidak menghadiri persidangan itu.
Adapun Forum Kota Jakarta ini baru saja melayangkan gugatannya terkait kasus polusi udara ini ke Pengadilan Negeri Jakarta pada 5 Agustus 2019.
Selain itu, kuasa hukum Kementerian Dalam Negeri baru memberikan foto kopi surat kuasa yang belum dilegalisir dan memberikan surat kuasa yang asli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.