"Sampai saat ini saya belum dalami. Itu 2016, secara materi enggak mengetahui persis, posisinya saya hadir di sini belum tahu kondisinya," kata dia.
Baca juga: Penggusuran Perumahan di Bekasi, Tak Mempan Diadang Warga, Tak Sentuh Rumah Berspanduk Ormas
Sementara itu, Pakar hukum agraria, Muhammad Ismak menyatakan bahwa tanah negara bukan berarti tanah milik pemerintah. Kedua hal itu tidak dapat disamakan.
Tanah negara yang belum dimiliki siapa pun, bebas ditinggali hingga ada sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut.
Bahkan, warga yang sudah lama tinggal di tanah itu, dimungkinkan meningkatkan status tanahnya menjadi "milik".
"Tanah milik negara bukan tanah milik pemerintah. Ia dikuasai negara, pemerintah bukan serta merta memiliki hak untuk membongkarnya. Negara kan tidak punya tanah. Umpama mau dimiliki harus ada yang bermohon (sertifikat kepemilikan) untuk itu," jelas Ismak kepada Kompas.com, Senin sore.
"Kalau sampai (warga) yang sudah 30 tahun kan bisa dianggap pemilik lewat hak prioritas. (Bahwa tanah itu aset negara PJT II), bukan berarti dimiliki. Mereka hanya menguasai asetnya. Kalau mau membongkar harus memohonkan sertifikat atas itu," tambah dia.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ayu Eza yang mendampingi warga gusuran Jakasetia sejak Juli 2019, mengganggap hal yang sama.
Ia mempertanyakan legitimasi Pemkot Bekasi menggusur warga di Jakasetia.
"Warga ada iktikad baik menguasai tanah. Seandainya pun nanti dibilang, kalau ada keputusan pengadilan bahwa tanah ini milik perusahaan, tapi kenyataannya yang menggusur kan Pemkot Bekasi. Pemkot tidak punya legal standing. Patut diduga, Pemkot Bekasi juga melawan hukum," jelas Ayu ditemui di lahan gusuran Jakasetia, Senin malam.
BPN diminta blokir sertifikat
Melawan penggusuran, warga bergabung dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB). Didampingi LBH Jakarta, mereka terus mencari keadilan.
Mereka berencana menggugat soal penggusuran tanah di Jakasetia yang diduga melawan hukum.
Mereka juga ingin BPN Kota Bekasi menerbitkan status quo (pembekuan) atas tanah itu. Namun, upaya itu mandek karena tanah gusuran Jakasetia tak ada yang punya.
Dalam surat yang sama, BPN Kota Bekasi menyebut bahwa pelayanan status quo hanya dapat dilakukan pada tanah yang telah bersertifikat.
Sebagai jalan keluar paling ringkas, warga meminta BPN Kota Bekasi untuk memblokir segala permohonan sertifikat kepemilikan tanah itu hingga konflik tanah beres.