KOMPAS.com - Kota Bukittinggi di Sumatera Barat tak hanya memiliki keindahan alam yang mendunia. Dari kota kecil di dataran tinggi ini pula, kisah soal polisi wanita pertama di Indonesia lahir.
Dalam generasi pertama, setidaknya ada enam polisi wanita yang kala itu menjalani pendidikan sekolah polisi.
Dikutip dari buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau (1945-1950) yang disusun Ahmad Hosen dan kawan-kawan, bulan Juni 1948 Sekolah Pendidikan Polisi di Bukittinggi memberi peluang kepada gadis-gadis di kota itu menjadi siswa.
Dari sejumlah pelamar ternyata hanya enam orang yang diterima.
Baca juga: Mengenal Kompol Ocha, Polwan Berprestasi Pengungkap Penyelundupan Sabu Internasional
Mereka adalah Nelly Pauna, Mariana, Djasmaniar, Rosmalina, Rosnalia, dan Dahniar. Putri-putri itu adalah tamatan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat sekolah menengah pertama, bahkan ada yang sudah bekerja di berbagai instansi, jadi guru atau perawat.
Cerita masuknya enam prajurit wanita ini ke sekolah polisi tidak lepas dari kebutuhan zaman perang saat itu.
Dikutip dari harian Kompas 7 Mei 1993, kota Bukittinggi pasca Agustus 1945, menjadi salah satu kota yang dibanjiri para pengungsi dari Medan, Pematang Siantar, Pekanbaru, bahkan Singapura.
Meski Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya saat itu, Belanda masih berusaha kembali menjajah. Muncullah dua kali agresi militer dan perang geriyla. Pertempuran terjadi di berbagai kota.
Baca juga liputan mendalam tentang polisi wanita dama VIK: Srikandi Bhayangkara
Bukittinggi masih dikuasai. Namun, kota ini harus waspada akan masuknya mata-mata musuh lewat para pengungsi.
Maka dari itu, setiap laki-laki dan perempuan yang dicurigai diperiksa secara ketat.
Barang yang mempunyai tiga warna, merah-putih-biru, walau ketiga warna tersebut terpisah satu sama lain, yang bersangkutan bisa dituduh sebagai mata-mata Belanda atau NICA (Nederlands Indies Civil Administration).
Apalagi jika ada cap tato ditemukan di bagian-bagian tubuh, bisa dijadikan indikasi.
Di masa-masa inilah terasa ada kejanggalan ketika polisi pria memeriksa tubuh wanita yang bukan muhrimnya. Apalagi, mungkin saja ada ada cap sebagai tanda kaki tangan musuh tersuruk pada bagian-bagian yang sangat terlarang.
Maka dibukalah peluang bagi wanita Sumbar untuk menjadi Polisi Wanita.
Di sanalah awalnya sekolah polisi di Bukittinggi kemudian membuka murid khusus prajurit wanita pertama. Tepat tanggal 1 September 1948, yang kini dijadikan hari jadi Polisi Wanita.