Melati anak paling bontot dari sembilan anak Satori. Kesembilannya kini telah berkeluarga.
Seluruhnya tinggal di sekitar TPS tersebut, membangun rumah-rumah semipermanen berbahan triplek dan seng.
"Semua ngelola ini. Paling satu anak ambil sampah di dua RT. Bapak saya kasihan sudah tua, jadi anak-anaknya saja," kata Melati.
Menurut dia, sampah-sampah yang ditimbun depan rumahnya itu merupakan buangan dari Perumahan Koperpu dan Perumahan Bekasi Timur Permai (BTP) tiap harinya.
Total, ada sekitar 18 RT yang sampahnya diangkut menggunakan gerobak ke TPS depan rumahnya.
"Kalau saya, suami saya yang ngambil sampah. Saya cuma milihin rongsokannya saja," ujar Melati.
Di depan rumah Melati, tampak berjejer beberapa karung berisi pilahan sampah, mulai dari barang bekas, kardus, dan botol plastik.
Melati menuturkan, pilahan rongsok ini jadi pundi-pundi tambahan untuk beli beras.
"Lauknya mah apa bae, mau garam mau apa," katanya.
Sampah kardus hanya dihargai Rp 1.000 per kilogram, sementara sampah botol plastik Rp 2.000.
Apabila hanya mengandalkan iuran warga, Melati dan keluarga hanya menerima Rp 300.000 dari setiap RT per bulannya.
Jika total ada 18 RT yang sampahnya diangkut keluarga besar Satori, maka di atas kertas, keluarga ini hidup bermodal Rp 5,4 juta sebulan.
"Kita kelebihannya ya memang dari pendapatan rongsok," sebut Melati.
Ilegal
Melati bersikeras bahwa TPS yang ia dan keluarganya kelola bukan biang kerok tutupan sampah di Kali Jambe.
Pertama, insiden tutupan sampah di Kali Jambe baru terjadi tahun ini. Sedangkan "usahanya" sudah berlangsung bertahun-tahun.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.