JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berduka ditinggal salah satu tokoh bangsa, Baharuddin Jusuf Habibie. Namun, kenangan serta kisah perjalanan hidup Presiden ketiga RI itu tak akan pernah lekang oleh waktu.
Habibie yang merintis karir dari kalangan professional, berotak cerdas namun dinilai tidak kuat secara politis itu nyatanya menjadi orang kepercayaan Presiden Soeharto.
Selama 25 tahun, Habibie mengabdi sebagai anak buah Soeharto.
Baca juga: Kenangan Anak Buah soal Habibie yang Murah Hati dengan Waktunya
Dia dipercaya menjadi penasihat dirgantara, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Menteri Riset dan Teknologi, hingga puncaknya dipercaya menjadi Wakil Presiden hingga Presiden selepas Soeharto mundur.
Bagi banyak orang, Habibie akan selalu identik dengan gaya Soeharto. Kaku dan antikritik. Namun, anggapan ini ternyata salah.
Salah satu contohnya adalah bukti kedekatan Habibie dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Pada tahun 1980 hingga 1990-an, Ali Sadikin cs menjadi oposisi kuat bagi pemerintahan Soeharto.
Puncaknya, pada 5 Mei 1980, Ali Sadikin bersama 49 orang politisi senior serta perwira tinggi ABRI dan Polri menandatangani petisi 50 yang berisikan kritik bagi Soeharto. Kelompok ini kemudian dikenal kelompok Petisi 50.
Tak butuh waktu lama, pemerintah langsung melarang seluruh tokoh-tokoh Petisi 50 ke luar negeri. Akses-akses penghidupan ekonomi mereka pun dibatasi.
Bahkan, salah satu perusahaan Ali Sadikin dibuat kesulitan mendapat kucuran dana dari bank hingga akhirnya gulung tikar. Akses air di rumah Ali Sadikin tiba-tiba diberhentikan sehingga dia harus menggali sumur.
Baca juga: Peneliti The Habibie Center: Mendadak Merasa Hampa, Seperti Ditinggal Orang Tua Sendiri
“Mereka tak ditahan, tapi sumber ekonominya dipangkas,” tukas Ali ceplas-ceplos saat itu.
Satu per satu anggota Petisi 50 yang awalnya bersuara lantang, kemudian memilih bersifat pasif. Bahkan, ada yang kemudian menarik pernyataannya dalam petisi. Jenderal-jenderal yang tergabung semua dikucilkan.
Menurut Ali, saat itu teman-teman seperjuangannya tak ada yang berani mendekat.
“Selama ini kan tidak ada yang berani. Ngundang anak kawin saja tidak berani undang saya,” kata Ali seperti dikutip dari Harian Kompas, 5 Juni 1993.
Jika semua orang memilih menjauh, namun tidak bagi Habibie.