JAKARTA, KOMPAS.com - Momok menakutkan penyakit kusta memang menghantui masyarakat Indonesia.
Penderita penyakit ini bahkan diberikan stigma terkena penyakit kutukan hingga penyakit orang miskin.
Banyak sekali mitos-mitos tentang penyakit ini, yang membuat orang normal bukan penderita kusta cenderung menjauhi para penyintas.
Hal inilah yang kemudian membuat Kampung Kusta di Karangsari, Neglasari, Tangerang ada.
Selain dibangun karena dekat dengan Rumah Sakit Sitanala yang dulunya dikhususnya bagi penderita kusta, kebanyakan para penderita pun lebih memilih menetap di situ dibandingkan balik ke tempat tinggal lama mereka.
Salah satunya adalah Hendra. Pria 36 tahun ini memilih tinggal jauh dari keluarganya yang berada di Tegal, Jawa Tengah karena takut dikucilkan.
Baca juga: Stigma Kusta Sepanjang Masa
Hendra pun rela berjauhan dengan istri dan anaknya untuk mendapatkan pengobatan di RS Sitanala.
"Di kampung kami enggak ada yang terkena kusta jadi mereka enggak terlalu paham," ucap Hendra saat bercakap dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Saat tau dirinya menderita kusta, para tetangga dan orang di lingkungan sekitarnya acapkali menjauhinya. Meski tidak demikan dengan keluarganya.
"Mereka buat saya minder tiba-tiba menjauh. Tapi saya paham mereka tidak mengerti tentang penyakit ini. Kan mereka enggak tau kalau menular bagaimana kalau enggak bagaimana," kisahnya.
Namun, untuk membuat dirinya lebih nyaman, bapak dua anak ini pergi jauh dari kampungnya.
Istrinya, tak ikut bersama Hendra untuk tinggal di Kampung Kusta karena harus bekerja di Tegal.
Memang semenjak menderita penyakit kusta 1,5 tahun yang lalu membuat dirinya juga harus rela berhenti bekerja.
Hendra mengaku harus fokus melakukan pengobatan dan jaga daya tahan tubuh sesuai anjuran dokter.
"Enggak boleh kerja harus istirahat karena obat cepat dan gampang reaksi. Tinggal bulan harus balik ke dokter sesuai suratnya," ucap Hendra.
Baca juga: Cerita Petugas Medis Perawat Kusta, Awalnya Kaget hingga Akhirnya Terbiasa
Meski demikian, selama tinggal di Kampung Kusta dalam kurun waktu 4 bulan, istri dan keluarganya belum sekali pun menjenguk Hendra.
Tetapi Ia mengaku tak apa-apa dan memaklumi hal tersebut.
"Enggak apa-apa mungkin mereka sibuk," ujarnya.
Dari terpaksa menjadi betah di Kampung Kusta
Hampir mirip dengan Hendra, Juleha awalnya juga terpaksa tinggal di Kampung Kusta karena penyakit yang dideritanya.
Kurang lebih 20 tahun, Ia mencoba menerima kondisi maupun lingkungannya.
Mengalami penyakit kusta sedari duduk di bangku SD, membuat Juleha tegar. Ia lalu dibawa oleh keluarganya berobat di RS Sitanala.
Bersama tantenya, Juleha akhirnya menetap di Kampung Kusta.
"Dulu sama tante di sini. Sedih kan namanya masih muda tapi harus tinggal lingkungannya begini," tutur wanita 35 tahun ini.
Lama kelamaan, Juleha merasa bahwa kesedihannya justru tak berguna. Ia pun tak mungkin berbuat banyak karena dibatasi kondisi tubuhnya yang sakit.
Baca juga: Bukan Kutukan, Penyakit Kusta Diberantas dengan Gelang Permata
"Enggak mungkin meronta enggak tinggal di sini kan. Jadi ya sudah. Ternyata lama-lama justru betah," kata dia.
Ia mengaku ada hal di Kampung Kusta yang membuatnya nyaman, yakni kerukunan dan solidaritas antarwarga.
Bahkan mereka tak segan saling menolong satu sama lain termasuk urusan menjaga anak maupun urusan dapur.
"Kadang saling bagi-bagi sayur. Saya juga suka nitip anak. Mungkin karena kondisi kami kan hampir sama semua," ungkapnya.
Kondisi Juleha kini memang cukup memprihatinkan. Akibat kusta Ia harus rela kehilangan jari dan sebagian kakinya.
Untuk berjalan, Juleha menggunakan kaki palsu yang diterimanya gratis dari pemerintah.
"Sudah ada kali 10 tahunan pakai kaki palsu. Sekarang sudah mulai rusak, jadi kalau di rumah ngesot enggak pakai kaki ini. Lutut saya sering berdarah," cerita Juleha dengan mata berkaca-kaca.
Baca juga: Bisa Dicegah dan Obatnya Gratis, Kok Kusta Masih Ada di Indonesia?
Padahal, ibu tiga anak ini punya banyak tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Ia harus bertahan meski terkadang berjalan hanya menggunakan lutut.
"Kan kami punya anak kecil takut copot di jalan takut ngesot. Sekarang jalannya enggak jauh-jauh. Sebenarnya ingin punya kaki palsu yang baru takut ke mana-mana ngambil rapor nganter anak tapi kondisinya udah rusak," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.