JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir ricuh pada Jumat (13/9/2019) lalu.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, peserta aksi yang menyebabkan kerusuhan hingga kini belum diamankan oleh polisi.
Tak ada penjelasan detail mengenai alasan polisi tidak mengamankan peserta aksi unjuk rasa.
Sikap polisi yang belum juga menangkap perusuh dalam unjuk rasa itu terkesan berbeda dibandingkan penanganan aksi unjuk rasa yang berujung rusuh umumnya.
Baca juga: Pengakuan Demonstran di Depan KPK, Tak Tahu Siapa Pimpinan KPK dan Akui Ada Bagi-bagi Uang
Biasanya, polisi baik yang berpakaian dinas maupun anggota reserse yang berpakaian preman akan dengan sigap mengamankan mereka yang diduga memicu kerusuhan.
Namun, pada aksi kemarin, tak ada satu pun peserta aksi yang ditangkap. Polisi juga terlihat menunggu cukup lama untuk memadamkan api dari karangan bunga yang dibakar peserta.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan yang berlaku terkait penyampaian pendapat di muka umum dan penanganannya?
Ada dua peraturan yang digunakan kepolisian dalam mengamannkan jalannya sebuah unjuk rasa.
Baca juga: Ricuh di Depan Gedung KPK, Belum Ada yang Ditangkap Polisi
Kedua peraturan itu yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 menyebutkan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum memiliki beberapa kewajiban.
Salah satunya adalah menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
Dalam pasal 15, sanksi bagi pelanggaran tersebut adalah kemungkinan untuk dibubarkan.
Lebih lanjut, pasal 16 dan pasal 17 menyebut penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana akan dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, tindak pidana yang dimaksud adalah kejahatan.
Secara rinci, aturan tentang penanganan kericuhan dalam suatu aksi unjuk rasa dilakukan polisi berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008.