JAKARTA, KOMPAS.com - Nining (43) sedang duduk di sebuah balai di samping tanah lapang. Wajahnya menghadap barisan gedung yang berdiri tegak menantang langit.
Tepat di belakang Nining, ada ibu–ibu lain yang juga duduk. Ibu–ibu itu duduk sambil mencabuti uban di rambut Nining.
Sambil mencabuti uban, mereka berbicara dengan ibu–ibu lain yang ada di balai yang sama. Benar–benar pemandangan umum seorang ibu rumah tangga yang tengah menghabiskan waktu di siang hari.
Sebenarnya gedung apa yang ditatap Nining?
Itu adalah Lippo Mall Kemang, yang beralamat di Jalan Pangeran Antasari No. 36, Kemang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Gedung tersebut persis berada di samping rumahnya. Aliran sungai selebar lima meter yang menjadi pembatas rumah Nining dengan mall.
Lippo Mall Kemang dikenal sebagai pusat perbelanjaan modern berikut apartemen yang berjejer di antaranya. Masuk ke dalam mall pun cukup jauh dari jalan raya, menandakan begitu megah pusat perbelanjaan ini.
Suasana bersih, dingin, mewah, modern langsung terasa kala langkah kaki pertama masuk ke dalam mall.
Namun, kondisi itu berbeda sekali dengan situasi pemukiman di sekitar mall. Sempit, kumuh dan berdebu. Salah satunya seperti rumah Nining.
“Dulu ini lapangan Mas, lapangan bola,” Kata Nining menunjuk gedung seraya memulai percakapan dengan Kompas.com, Kamis (19/9/2019).
Masih segar di ingatan Nining dahulu banyak anak yang datang untuk main bola di tanah lapang tersebut. Namun, pasca pembangunan dimulai tahun 2005, pemandangan itu sirna.
Selain tanah lapang, ada juga beberapa rumah yang berdiri di tanah tersebut. Namun, pihak perusahaan telah membeli tanah mereka demi dibangunnya pusat perbelanjaan dan apartemen yang megah seperti sekarang.
Tampak ada sedikit penyesalan di wajah Nining ketika pemukiman yang sudah dia tempati sejak lahir ini menyempit karena pembangunan mall.
"Habis mau bagaimana lagi, tanahya sudah dibeli (oleh pengembang),” ucap dia.
Ketika ditanya sesering apa Nining masuk ke dalam Lippo Mall Kemang?
Dia sontak tertawa, “jarang Mas, hahahaha”.
Harga barang–barang dan biaya makan di mall tersebut sudah cukup membuat Nining mengernyitan dahi karena begitu mahal.
Dia hanya bisa memanfaatkan hiburan gratis yang kerap dipertunjukan pihak mall.
“Biasanya setiap malam Sabtu dan Minggu ada acara musik di depan kafe-kafe om, nontonnya gratis. Ya kalau mau makan mah bayar lagi,” ucap dia polos.
“Oh, sama paling kalau malam tahun baru, dia (pihak mall) suka main kembang api. Nah kita enggak usah jauh-jauh nonton kembang api,” tambah dia.
Selain musik gratis, tidak jarang juga pihak pengembang memberikan bala bantuan ketika pemukiman tersebut dilanda banjir. Mereka sering terkena banjir lantaran posisi rumah yang berdekatang dengan kali.
“Kalau banjir suka ada bantuan. Enggak cuma banjir, kalau Lebaran suka kasih hewan kurban,” kata dia.
Sekarang, hanya tersisa sebidang tanah lapang yang kosong di samping mall. Lahan itu kini di pakai anak-anak kampung setempat untuk bermain bola.
Bermodalkan bola plastik dan kaki yang tidak beralas, mereka tampak bahagia menikmati permainan tersebut.
Entah sampai kapan kebahagiaan mereka akan bertahan sebab tanah tersebut rupanya juga sudah menjadi hak milik pengembang. Kapan pun pengembang mau, tanah itu bisa saja disulap menjadi gedung.
Begitu pun rumah Nining yang tidak jauh dari lapangan tersebut. Bisa saja besok, lusa, minggu depan atau tahun depan dia harus angkat kaki dari sana.
Mungkin kebingunan itu juga yang dirasakan warga lain yang tinggal dikawasan itu. Yang mereka bisa lakukan hanya menikmati hari sambil menunggu kapan rumah mereka akan disulap jadi gedung pencakar langit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.