Sebab, kasus-kasus kekerasan aparat yang menimbulkan korban jauh lebih penting ketimbang kasus yang membelitnya.
"Saya ingin publik tetap fokus ke agenda yang lebih besar, kasus saya enggak ada apa-apanya dan kecil dibandingkan persoalan di Papua, mahasiswa yang tewas, karena menuntut reformasi yang dituntaskan," kata Dandhy.
"Jadi, saya pikir panggung utama adalah bagaimana reformasi dituntaskan (agar) jadi perhatian publik (dan) energinya tetap ada. Persoalkan yang lebih besar," tambah dia.
Sebagai informasi, puluhan warga di Wamena dan Deiyai tewas selama gelombang aksi unjuk rasa di Papua sejak lebih dari sebulan lalu.
Baru-baru ini, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari tewas usai terlibat bentrok dengan polisi, Kamis.
Salah satu dari mereka tewas dengan luka tembak di dada.
Penangkapan dipersoalkan
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengkritik langkah polisi menangkap Dandhy pada malam hari.
"Upaya paksa seperti penangkapan seharusnya dilakukan sebagai upaya terakhir. Penangkapan pada malam hari dan dilanjutkan dengan pemeriksaan di malam hari, dalam pandangan ICJR, sama sekali tidak tepat," ujar Anggara dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat.
Anggara menilai, twit Dandhy sekadar bentuk penyampaian informasi dan kritik yang sah, bahkan dijamin dalam UUD 1945.
Penangkapan Dandhy, menurut dia, tak ubahnya “try out” Rancangan KUHP yang tengah jadi polemik belakangan ini.
Anggara bahkan meminta polisi segera membatalkan status tersangka Dandhy.
“Tindakan Dandhy adalah bentuk penyampaian informasi kepada publik dan kritik terhadap kebijakan di Indonesia, terutama menghadapi berbagai gejolak politik baik yang terjadi di Papua dan juga di daerah Indonesia lainnya," jelas Anggara.
Dandhy mengakui bahwa twit-twitnya selama ini soal Papua bermaksud untuk menjernihkan informasi yang selama ini bagai ditutup-tutupi pemerintah.
Dia merasa mengemban tanggung jawab tersebut, apalagi sebagai jurnalis.