TANGERANG, KOMPAS.com - Di tengah laju kemajuan Kota Tangerang, warga Tionghoa masih hidup dengan mempertahankan tradisinya.
Orang Tionghoa telah menetap di Tangerang sejak tahun 1407. Jejak keberadaan mereka dapat ditemukan di sekitar kawasan Pasar Lama, Tangerang.
Salah satu warisan sejarah kaum Tionghoa Benteng adalah Museum Benteng Heritage. Museum itu kaya akan peninggalan tradisi Tionghoa Benteng.
Di museum itu ditemukan lukisan-lukisan yang mengisahkan budaya masyarakat Tionghoa Benteng sejak dulu hingga sekarang.
Salah satunya tentang festival Pehtjun atau Lomba Perahu Naga.
Baca juga: Mengenal Perwira TNI Keturunan Tionghoa John Lie, Hantu Selat Malaka..
"Festival Lomba Perahu Naga, tiap tahun diadakan tanggal lima bulan lima kalender Tionghoa. Kalau di masehi, biasanya bulan Juni," kata Pemandu Wisata Museum Benteng Heritage, Martin.
Pemilihan tanggal lima bulan lima didasari kepercayaan bahwa tanggal tersebut merupakan puncak musim panas.
Festival Pehtjun merupakan tradisi yang hingga kini masih rutin dilaksanakan kaum Tionghoa Benteng di Tangerang.
Dalam festival tersebut, masyarakat akan berlomba mengayuh perahu berbentuk naga di Sungai Cisadane, dimulai dari daerah Babakan sampai ke sekitar Pasar Lama.
"(Festival) ini tiap tahun beda tanggal. Tahun ini tanggal tujuh Juni, enggak tahu tahun depan," tambah Martin.
Selama perayaan Festival Pehtjun dilaksanakan, ada tiga tradisi lain yang turut dijalankan. Tradisi pertama adalah tradisi menangkap bebek.
Bebek-bebek akan dilempar ke tengah Sungai Cisadane. Setiap orang yang ingin mendapatkan bebek harus menceburkan diri ke sungai. Bebek yang dilepas bebas diambil oleh siapa saja.
Tradisi kedua yaitu tradisi mendirikan telur. Telur yang berbentuk bulat diusahakan agar bisa berdiri di atas bidang datar. Kaum Tionghoa percaya, pukul 12.15 adalah waktu yang paling tepat untuk bisa mendirikan telur.
"Kalau coba (mendirikan) jam 11, belum bisa. Setelah jam 12 itu besar kemungkinannya," kata Martin.
Tradisi terakhir adalah tradisi pelemparan bakcang. Bakcang sendiri berasal dari kata bak yang berarti daging dan cang yang artinya diikat.
Baca juga: Peran Prajurit Tionghoa dalam Perkembangan TNI...
Pelemparan bakcang itu dilakukan untuk mengenang menteri Tiongkok bernama Yuan yang sangat dicintai rakyatnya. Menteri itu hidup 2000 tahun yang lalu.
Hingga kini, bakcang pun masih dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat Tionghoa, termasuk kaum Tionghoa Benteng.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.