Setelah tuntas, lukisan diboyong Bung Karno ke rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56, untuk dipajang di beranda rumah. Konon, Bung Karno begitu gandrung terhadap lukisan itu lantaran temanya orang memanah.
Kedekatan Soekarno dan Henk dalam urusan itu pun terus berkelindan.
Setelah “menugasi” Henk melukis sketsa Tugu Selamat Datang, Soekarno pun menunjuk Henk mendesain Monumen Pembebasan Irian Barat yang kini berdiri di tengah-tengah Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Selepas sketsanya rampung, Soekarno memilih pematung Edhi Sunarso (1932- 2016) untuk membuatnya nyata. Orang yang sama juga ditugasi Soekarno mendirikan Tugu Selamat Datang hasil sketsa Henk Ngantung.
Akan tetapi, pamor Henk sebagai seniman sekaligus birokrat itu pudar seiring stigmatisasi politik Orde Baru yang menjerumuskan orang-orang dekat Soekarno.
Henk yang tak sampai 1 tahun menempati tampuk kepemimpinan Ibu Kota (Agustus 1964 – Juli 1965), dicopot dari jabatannya oleh rezim Orde Baru dengan cap “pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia)”.
Baca juga: Keluarga Mantan Gubernur DKI Henk Ngantung Ucapkan Terima Kasih kepada Ahok
Karier politik Henk pun buyar akibat cap yang ditorehkan rezim Soeharto secara serampangan – tanpa pengadilan – itu.
Istri Henk, Hetty Evelyn Ngantung Mamesah, mengenang bagaimana karier suaminya runtuh pada medio 1965, era ketika rezim Orde Baru membantai ratusan ribu hingga jutaan warga yang dituduh komunis.
“Pagi-pagi di depan rumah kami di Tanah Abang II banyak RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) sedang mengepung tangsi Tjakrabirawa. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kehidupan kami selanjutnya menjadi susah hingga harus jual rumah,” kata Evelyn (harian Kompas edisi 9 Juni 2006).
Tragedi kehidupan Henk dan istri mulai terjadi pada sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peristiwa tadi juga yang memaksa Henk dan Evelyn menjual rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta.
“Kami jual rumah itu karena tidak punya uang lagi. Kan sejak Pak Henk dicopot sebagai gubernur tahun 1965, Pak Henk tidak diberi pensiun. Sampai akhirnya tahun 1980, baru diberi uang pensiun oleh pemerintah,” tutur Evelyn (Kompas edisi 14 Oktober 2012).
Lantas, uang hasil penjualan rumah di Jalan Tanah Abang II itu digunakan untuk membeli rumah di permukiman padat penduduk di pinggir Jalan Dewi Sartika seharga Rp 5,5 juta.
Baca juga: Sosok Ali Sadikin, Disebut Gubernur Maksiat karena Legalkan Judi
Hidup tanpa uang pensiun sejak kepindahannya ke Dewi Sartika, Henk kembali menekuni kanvas. Uang hasil penjualan lukisannya digunakan untuk menghidupi keluarga.
Henk menghabiskan waktunya hari demi hari dengan melukis di ruang tamu dan tengah. Ia hanya sendiri di ruangan itu karena tak mau diganggu saat melukis.
Kesetiaan Henk melukis terus berlanjut meski ia digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanannya buta dan mata kirinya hanya berfungsi 30 persen.
Sebulan sebelum tutup usia, ketika Henk dalam keadaan dirisak penyakit, ia menggelar pameran lukisan pamungkasnya. Pameran itu disponsori pengusaha Ciputra.
“Lukisan ‘Ibu dan Anak’ karya terakhir Henk. Dia melukis dengan darah, keringat, dan air mata karena nyaris buta sehingga wajahnya nyaris menempel di kanvas saat bekerja. Dia gusar karena keadaan fisiknya,” kenang Evelyn.
Henk tutup usia pada 12 Desember 1991. Ia dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan.