JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan zaman yang semakin modern dan pusat perbelanjaan di Jakarta yang terus bertambah, nyatanya tidak membuat lumpuh aktivitas jual beli di Pasar Poncol, Senen, Jakarta Pusat.
Pasar Poncol, surganya barang-barang loak. Mulai dari perlengkapan elektronik, suku cadang kendaraan, alat musik, kamera, ponsel, serta berbagai kebutuhan rumah bisa ditemui di pasar yang letaknya bersebelahan dengan Stasiun Senen.
Barang-barang tersebut pun dibanderol dengan harga miring, tergantung dengan kondisinya.
Menariknya lagi, pengunjung masih bisa menawar harga yang telah dipatok oleh penjualnya.
Baca juga: Pelintasan Rel KA Dekat Stasiun Senen Ditutup, Pedagang Pasar Poncol Merugi
Tidak hanya loakan, pasar ini juga menyediakan berbagai barang baru, mulai dari pakaian, sepatu, dan masih banyak lagi.
Bahkan, banyak para pengunjung yang datang ke pasar Poncol untuk membeli barang-barang antik dengan harga miring.
Namun, dahulu Pasar Poncol terkenal kumuh, tak tertata, dan rawan copet. Meski demikian, pasar yang sudah melegenda sejak 1960-an ini menyisakan kenangan sendiri bagi pedagang yang berjualan di sana.
Salah satu pedagang sekaligus pengurus di Pasar Poncol, Micky Lekatompesi bercerita bahwa dahulu pasar loak ini tak tertata. Bahkan, para pedagangnya masing-masing membawa dagangannya dengan dipikul.
Para pedagang berjualan dengan dengan atap terpal dan beralaskan tanah. Ketika hujan, Pasar Poncol pun terlihat becek dan kumuh.
Hanya segelintir pedagang yang mampu membeli kios dagang saat itu.
“Malahan kios-kiosnya pun ya jelek-jelek gitu dari triplek. Tidak baguslah pokoknya,” ujar Micky saat ditemui di Pasar Poncol, Senen, Jakarta Pusat.
Kawasan Poncol juga terkenal dengan copetnya. Menurut Micky, dahulu pasar ini diketahui sebagai tempat copet beraksi.
Ia mengatakan, copet-copet itu berkumpul di depan Pasar Poncol untuk mengincar para pengunjung.
Baca juga: Pasar Poncol Senen Kebakaran
Setelah berhasil mencopet pengunjung, biasanya pencopet itu langsung menjual dompet tersebut di toko loak Pasar Poncol.
“Bahkan pernah waktu itu ada lima ponsel sama dua dompet yang saya lihat sedang djual di pasar ini,” kata Micky.
Meski rawan copet, pembeli di Pasar Poncol pada era 1960–an tetap ramai. Bahkan, pengunjungnya harus berdesak-desakkan untuk memilih barang incaran.
Micky mengatakan, dahulu dalam sehari ia sendiri pun dapat menghasilkan Rp 2.000.000 per hari.
Sebab pengunjung kala itu silih berganti untuk memborong barang-barang yang dijajakan. Mulai dari orang Jakarta bahkan pendatang dari luar Jakarta pun berbelanja di Pasar Poncol.
“Dulu rasanya untuk istirahat aja susah. Mau duduk aja kayaknya tidak bisa, pembeli terus menerus datang,” kata Micky.
Kini semua berubah. Pasar Poncol telah ditata dengan baik, langsung dikelola oleh Pemerintah Jakarta Pusat. Pemandangan kumuh pun sirna.
Micky mengatakan, setahun yang lalu atap-atap di Pasar Poncol diperbaiki menggunakan seng-seng yang kuat.
“Sekarang mah kan udah diaspal jadi tidak becek lagi. Udah bagus pokoknya,” ujarnya.
Baca juga: Dilema Memindahkan Pedagang Barang Loak ke Pasar
Kios-kios di kawasan Pasar Poncol ini juga tak tampak kumuh lagi. Bahkan sudah seperti layaknya pasar modern pada umumnya.
Kini, kata Micky, pasar ini tidak lagi seratus persen menjual barang-barang loak. Meski demikian, pedagang tetap memasang harga miring.
“Ada juga barang-barang baru yang dijual di pasar ini. Bagian depan barang baru, sementara yang di belakang barang-barang loak,” kata Micky.
Micky mengatakan, saat ini copet yang ada di kawasan Pasar Poncol pun sudah lebih berkurang.
“Soalnya sekarang udah banyak yang dagang dan yang mantau juga. Jadi kalau ada copet pasti ketahuan terus diteriakkin biasanya langsung abis (diamuk) di sini,” ujar Micky.
Meski begitu, Micky mengaku bahwa pembeli di Pasar Poncol semakin sedikit setiap harinya.
Micky pun merasakan hal itu. Pembeli yang datang ke toko bajunya itu bisa dihitung jari setiap harinya.
Baca juga: Berburu PlayStation Bekas di Mal Rongsok Depok...
Biasanya yang datang ke tokonya 10 hingga 20 orang. Kini, yang datang ke tokonya hanya empat, bahkan tiga paling sedikit.
Keuntungan per harinya pun berkurang jika dihitung dari zaman kejayaannya.
“Sekarang kadang bisa empat orang yang beli, palingan untung Rp 400.000 per hari,” kata Micky.
Micky mengatakan, berkurangnya pembeli di Pasar Poncol bisa jadi karena zaman telah berubah. Proses jual beli menjadi serba online.
Micky sendiri tak ketinggalan menjajakan dagangannya menggunakan aplikasi online.
Hanya dengan menjual dagangan secara online itulah ia bisa bertahan berjualan di Pasar Poncol hingga sekarang.
“Kalau tidak, saya bisa gigit jari ngarepin pendapatan dari sini doang,” ucap Micky.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.