Suatu hari ia ditugaskan untuk mengambil emas berlian dari orang China kaya yang tinggal di Madiun. Ia dan rekan-rekannya datang ke rumah tersebut seolah-olah minta bantuan.
Akan tetapi, keluarga orang China itu menutup-nutupi keberadaan emas berlian mereka. Kusni yang telah mendapat informasi mengenai keberadaan emas tersebut lantas menemukan lokasi penyimpanan perhiasan itu.
"Seharusnya bapak kami tembak karena bohong. Jadi takkan sempat menyerahkan sendiri. Tapi biarlah, kami hanya perlu ini," kata Kusni sembari memegang emas berlian tersebut.
Kusni merasa bangga dengan apa yang ia lakukan. Menurutnya, ia telah menyumbang uang untuk perjuangan.
Pada 19 Desember 1948, Kusni sedang berada di Yogyakarta. Kusni yang sedang bangun tidur tersentak, terdengar suara rentetan tembakan dari arah timur yang makin lama menjalar ke seluruh kota.
Ia lantas melihat puluhan tentara berkumpul dengan sejumlah rakyat mengikuti. Kusni pun ikut dalam rombongan tersebut. Di suatu tikungan Kusni melihat sebuah meriam.
Dipanggilnya beberapa orang untuk mendorong meriam tersebut. Meski begitu berat ia dan warga-warga tersebut mendorong meriam sejauh 20 kilometer dari Yogyakarta.
Meriam itu akhirnya ia serahkan ke segerombolan prajurit yang kebetulan ditemuinya untuk modal perang melawan Belanda. Ia menyerahkan meriam dengan rasa bangga.
Akan tetapi, di suatu hari setelah perang usai, Panglima Komando Jawa melakukan skrining siapa saja yang berhak menjadi TNI. Nama Brigade Teratai tidak masuk dalam daftar yang akan dijadikan TNI.
Kusni yang memiliki kenalan sempat mengaku sebagai anggota TRIP karena dua temannya bergabung di sana. Tapi tetap saja, ia ditolak jadi TNI.
Kusni lantas kembali ke Rampal mengurus surat pernyataan bekas pejuang. Butuh waktu satu tahun untuk surat itu terbit sekaligus uang pemulihan yang jumlahnya amat sedikit.
Uang itu diserahkannya ke istri yang dinikahinya semasa perjuangan. Ia lantas membujuk istrinya pulang ke Blitar dengan uang tersebut, sementara dirinya mencari penghasilan.
Dari Malang, Kusni pergi ke Surabaya. Di sana ia bertemu dengan dua teman lamanya yakni Subagyo dan Purnomo. Dua temannya itu memberi Kusni uang cukup banyak hingga ia bisa mengirimkan sebagian ke kampung.
Tapi Kusni merasa bahwa ia tetap butuh pekerjaan. Ia berangkat ke Jakarta ke kantor Biro Rekonstruksi Nasional yang mengurus penempatan bekas pejuang.
Namun di Jakarta juga sama, ia masih tidak bisa mendapat pekerjaan. Kusni merasa kerdil. Empat tahun ia berjuang demi Tanah Air, tapi dalam sekejap ia kembali jadi orang susah.
Di tengah keterpurukan itu, ia kembali ke Surabaya. Ia kembali bertemu dengan Subagyo dan rekan lainnya sesama bekas pejuang.
Subagyo lantas mengajak Kusni melakukan pemerasan dengan modus penculikan, Kusni yang memimpin. Saat itu pula Kusni menggunakan nama Kasdut sebagai nama samaran.
Pencurian mereka berhasil. Kusni dan kawan-kawannya mendapatkan uang Rp 600.000 yang dibagi rata. Uang itu terasa begitu banyak dan dibagi-bagikan Kusni ke rekan sesama pejuang.
Tapi uang itu cepat menipis. Kusni lantas kembali merencanakan tindakan serupa. Pemerasan pertama itulah yang mendasari Kusni terus terlibat kasus kejahatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.