Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imigrasi Soekarno-Hatta Akui Sulit Deteksi Perdagangan Manusia lewat Pengantin Pesanan

Kompas.com - 19/11/2019, 18:47 WIB
Singgih Wiryono,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

TANGERANG, KOMPAS.com - Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta mengakui sangat sulit untuk mendeteksi perdagangan manusia dengan modus pengantin pesanan (mail-order bride).

Praktik pengantin pesanan kerap terjadi pada perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing, melalui peran agen perjodohan atau yang lazim disebut "mak comblang".

Praktik ini kemudian berkembang menjadi kasus yang terindikasi tindak pidana, karena para perempuan yang menikah dengan laki-laki asing, dalam hal ini laki-laki China, justru menjadi korban kekerasan.

Kepala Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta, Safar Muhammad Godam mengaku kesulitan mendeteksi perdagangan manusia dengan modus pengantin pesanan tersebut lantaran pasangan-pasangan yang menjadi pengantin pesanan tidak terlihat mencurigakan.

Baca juga: Berbagai Modus Perdagangan Manusia, dari Pengantin Pesanan hingga Pemberian Beasiswa

"Siapa yang bisa mengerti ini pengantin pesanan? Dokumen lengkap, mereka kemudian berangkat," kata dia saat ditemui Kompas.com di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta, Selasa (19/11/2019).

Godam meyakini bahwa dari data terakhir yang ia terima, tercatat ada 39 pengantin pesanan yang dipulangkan melalui KBRI Beijing. Namun, kasus serupa sebenarnya lebih banyak, akan tetapi tidak dilaporkan oleh para perempuan yang menjadi pengantin pesanan.

"Tetapi fenomena itu muncul pada Juli 2019, di mana ada 39 pengantin pesanan yang dipulangkan dari Cina karena KDRT, atau merasa dipekerjakan tanpa gaji dan (alasan) lainnya. Dari 39 ini, ada yang lain yang lebih besar yang tidak ada masalah," jelas dia.

Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, pengantin pesanan cenderung diam dan tidak melaporkan dirinya sebagai seorang korban perdagangan manusia.

Baca juga: Gubernur Viktor Laiskodat Diminta Fokus Atasi Perdagangan Manusia, Tak Hanya Pernyataan Kontroversial

Menurut Godam, permasalahan pengantin pesanan banyak terjadi di China karena jumlah laki-laki dan perempuan di China tidak seimbang lantaran pemerintah setempat menerapkan kebijakan program menekan jumlah penduduk satu anak untuk satu keluarga.

"Muncul kesulitan laki dan perempuan tidak seimbang. Akhirnya mencari jodoh di negara-negara (Asia Tenggara), bukan hanya di Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia memulangkan 14 warga negara Indonesia (WNI) korban kasus pengantin pesanan (mail-order bride).

Baca juga: 14 Korban Pengantin Pesanan Asal Indonesia Dipulangkan dari Beijing

Para korban yang berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat dipulangkan dari China dengan didampingi oleh KBRI Beijing.

Dilansir setkab.go.id, mereka tiba di Jakarta pada Senin (2/9/2019) dan diterima oleh Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kemlu Andri Hadi.

"Proses pemulangan ini adalah wujud kehadiran negara dalam pelindungan warganya sekaligus buah kerja sama yang erat dari berbagai pihak," ujar Andri Hadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PAN Sebut Warga Depok Jenuh Dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

PAN Sebut Warga Depok Jenuh Dengan PKS, Imam Budi: Bagaimana Landasan Ilmiahnya?

Megapolitan
Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Ketika Kajari Jaksel Lelang Rubicon Mario Dandy, Saksi Bisu Kasus Penganiayaan D di Jaksel

Megapolitan
Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Megapolitan
Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang 'Pelanggannya' di Kali Bekasi

Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang "Pelanggannya" di Kali Bekasi

Megapolitan
Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Megapolitan
Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Megapolitan
Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Megapolitan
Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Megapolitan
Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Megapolitan
Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Megapolitan
Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Megapolitan
Disdukcapil DKI Bakal Pakai 'SMS Blast' untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Disdukcapil DKI Bakal Pakai "SMS Blast" untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com