Ahmad adalah pemuda yang tinggal di sekitar SMK Yadika 6. Ia turut bantu proses evakuasi selama 15 menit awal sejak kemunculan api.
Menurut Ahmad, saat itu kepanikan mengudara di mana-mana. Pemadam kebakaran belum juga tiba di muka sekolah. Warga berjibaku memanfaatkan apa pun sumber air guna menjinakkan api dengan apa pun cara.
Semua pintu pagar rumah terbuka. Warga mengirim ember dari kamar mandi beberapa rumah di depan sekolah secara estafet. Ada yang berinisiatif mengulur selang cuci steam bertekanan tinggi. Sial, api masih terlalu digdaya.
Murid-murid yang berhasil tiba di lapangan dengan selamat mengabarkan pada kawan-kawannya bahwa si itu dan si ini masih terjebak di lantai 3 atau 4 dengan nada gawat. Tangis beberapa murid pecah di lapangan, tetapi toh air mata tak mampu memadamkan api.
“Ada juga banyak yang gotongin motor kan rata-rata dikunci setang. Pokoknya banyak warga yang bantuin masuk ke sekolah, siapa saja langsung gerak apa yang bisa dibantu,” ujar Ahmad.
Setelah tersisa ruang cukup di lapangan, beberapa orang lain berduyun-duyun datang memboyong ring basket dan gawang futsal. Ada pula yang membawa tangga.
Pemadam kebakaran menyatakan, sekolah ini tak punya tangga darurat. Sementara satu-satunya tangga yang dimiliki sekolah ini sudah pepak oleh manusia, ring basket hingga gawang futsal pun didapuk jadi tangga darurat. Warga memepetnya ke dinding jendela.
Dari jendela-jendela itu, bermunculan sosok murid-murid kepanikan yang merasa tak akan selamat jika harus mengantre lewat tangga.
Alif (16), murid kelas X jurusan multimedia jadi salah satu saksi yang melihat beberapa kawannya nekat naik ke lantai atas dan pilih menyelamatkan diri lewat jendela. Mereka merasa tak akan mampu menerobos asap yang telah menguasai segala penjuru di lantai bawah.
Memang, selain api yang dalam hitungan detik sanggup memanggang kulit manusia, asap juga jadi momok menakutkan dalam setiap insiden kebakaran. Paru-paru manusia jelas bukan didesain untuk menampung gas beracun sisa pembakaran dalam skala besar. Asap bisa merubuhkan korbannya dalam tempo singkat, mengurungnya dalam keputusasaan sebelum api mencapai tubuhnya.
Alif masih ingat ketika degup jantungnya berlarian di sekujur dada. Langkahnya macet di tangga bukan lagi karena padatnya manusia, tapi matanya tak sanggup membuka sempurna. Dadanya kembung oleh asap.
“Asap sudah masuk keliling gedung,” tutur Alif pada Kompas.com, Senin malam.
Tiga puluh menit setelah peringatan kebakaran, Alif masih terperangkap di lantai 3. Saat itu, langkahnya bukan lagi terhenti karena panjangnya barisan turun, melainkan akibat matanya tak dapat lagi terbuka sempurna. Dadanya juga kembung oleh asap.
Baca juga: 3 Lantai Hangus, SMK Yadika 6 Pondok Gede Tak Punya Fasilitas Laik Antisipasi Kebakaran
Dalam sekelebat pandang, ia menyaksikan beberapa temannya seolah menyerah untuk melanjutkan langkah.
“Teman kita ke atas lagi, mereka mengikat gorden untuk pegangan turun ke bawah dari jendela. Mereka merasa sudah terjebak dan itu jalan satu-satunya untuk selamat karena sudah banyak api. Mereka panik. Pikirnya, satu-satunya cara selamat ya langsung lompat,” ungkap Alif.
“Beruntung”, beberapa temannya yang keluar di lantai tiga sanggup mencapai “tangga-tangga” darurat di lapangan luar sekolah. Ia tak tahu kabar teman-temannya itu. Yang ada dalam benaknya hanya satu: berupaya selamat.
“Yang penting keluar, deh. Tahan napas, tahan-tahan-tahan supaya bisa keluar,” kata Alif.
“Panas sih sudah bukan panas lagi,” tambahnya.
Maulana (17), rekan Ahmad, hanya bisa pasrah ketika berdiri di antara orang-orang yang menyemut di lapangan sekolah, setelah bantu menggotong motor.