Temuan Ahok soal "dana siluman"
Ahok kemudian mengumumkan temuan "dana siluman" sebesar Rp 8,8 triliun yang diselipkan lewat beberapa program satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Setelah "anggaran siluman" itu dicoret, pembahasan rancangan APBD berproses sampai rapat paripurna kesepakatan rancangan APBD pada 27 Januari 2015.
Setelah rapat paripurna itu, Ahok menduga ada upaya sejumlah oknum memotong pos-pos prioritas, lalu menambah pos baru ke dalam draf APBD.
Menurut dia, polemik terjadi karena anggota DPRD memotong 10-15 persen anggaran yang sudah disusun, lalu memasukkan rincian anggaran yang totalnya Rp 12,1 triliun.
Rincian itu antara lain anggaran Rp 4,2 miliar untuk pembelian penyimpan listrik cadangan (uninterruptible power supply/UPS).
"Saya tanya ke lurah-lurah di Jakarta Barat, apa betul dia mau membeli UPS seharga Rp 4,2 miliar. Mereka menjawab tak pernah memasukkannya dalam anggaran. Tiba-tiba muncul di anggaran," kata Ahok (Kompas, 25 Februari 2015).
Ahok akhirnya menyerahkan draf dokumen APBD 2015 kepada Kemendagri pada 2 Februari 2015.
Kemendagri mengembalikan dokumen itu pada 6 Februari 2015 dengan alasan belum lengkap.
DPRD DKI menuding, dokumen yang diserahkan eksekutif itu bukan versi APBD yang dibahas bersama eksekutif-legislatif karena tidak ada tanda tangan pimpinan DPRD.
Pada 9 Februari, DPRD akhirnya menyerahkan draf dokumen APBD yang menurut mereka hasil pembahasan bersama eksekutif-legislatif kepada Kemendagri.
"Itu bukan (APBD) yang dibahas bersama dengan DPRD. Kami beritahu ke Kemendagri bahwa itu ilegal. Sudah betul APBD itu dikembalikan Kemendagri karena hak budget ada pada kami," ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik (Kompas, 12 Februari 2015).
Menurut Taufik, DPRD mengirimkan draf APBD versi legislatif kepada Kemendagri supaya ada perbandingan.
Dia menilai eksekutif manipulatif dengan mengirimkan APBD yang disusun sendiri oleh eksekutif.
Polemik APBD tersebut membuat DPRD DKI memutuskan memakai hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran Ahok dalam penetapan rancangan APBD 2015.
DPRD menilai tindakan Ahok mengajukan draf APBD 2015 yang bukan hasil pembahasan bersama ke Kemendagri sebagai bentuk pelecehan terhadap institusi DPRD.
Kemendagri kemudian memediasi Pemprov DKI dan DPRD DKI.
Pada 18 Maret 2015, Badan Anggaran DPRD DKI dan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) DKI Jakarta akhirnya membahas draf APBD hasil evaluasi Kemendagri.
Dokumen yang dibahas adalah draf APBD versi Pemprov DKI.
Namun, pembahasan tersebut buntu hingga batas waktu yang ditetapkan Kemendagri. DPRD dan TAPD DKI Jakarta gagal menyepakati rancangan peraturan daerah (perda).
Delapan dari sembilan fraksi menolak membahas hasil evaluasi karena menganggap draf yang dikirim TAPD ke Kemendagri bukan hasil pembahasan bersama DPRD.
APBD disahkan pakai pergub, bukan perda
TAPD DKI Jakarta kemudian menyiapkan peraturan gubernur karena DPRD DKI tidak menyepakati raperda tentang APBD 2015.