JAKARTA, KOMPAS.com - "Seorang entrepreneur adalah seseorang yang inovatif dan mampu mewujudkan cita-cita kreatifnya," demikian golden quote yang diucapkan pengusaha tersohor Ciputra seperti dikutip dari dalam bukunya yang berjudul "Ciputra Quantum Leap".
Oleh karena itu, Ciputra berpandangan bahwa seorang entrepreneur sejatinya harus dapat mengubah padang ilalang jadi kota baru, pembuangan sampah menjadi resort yang indium, kawasan kumuh menjadi pencakar langit tempat ribuan orang bekerja.
"Entrepeneur mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas," tegas Ciputra.
Hal itu terus diungkapkan pengusaha properti terkenal ini sebagai gambaran seorang entrepreneur.
Pria kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah ini dikenal sebagai filantropi dan berkiprah di bidang pendidikan dengan mengambangkan Universitas Ciputra. Ciputra juga banyak menguasai bidang properti.
Di balik kesuksesannya itu, siapa sangka Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, pernah menjadi seorang petani setelah kehilangan ayahnya yang ditangkap dan ditahan tentara penjajah Jepang. Ia bahkan sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak umur 12 tahun.
Baca juga: Mimpi Ciputra Bangun Ancol Setara Disneyland...
“Saya dari Desa Pepaya. Waktu zaman Jepang, saya harus sekolah, harus juga berkebun, dan jadi kepala rumah tangga. Sebab saat itu kakak saya tinggal tinggal bersama saya,” ucap Ciputra seperti dilansir Koran Harian Kompas pada Minggu, 24 November 1985.
Tidak hanya menjadi petani, kala itu Ciputra juga menggembalakan hewan ternak, yakni empat ekor sapi, dua ekor kuda, puluhan ekor kambing, dan 15 ekor anjing.
Setiap hari, Ciputra harus bangun pukul 05.00 WIB dan berangkat sekolah pukul 06.00 WIB. Sebab, saat itu jarak sekolah dengan rumahnya harus ditempuh dengan waktu satu jam.
Sehingga untuk sampai di sekolah dengan cepat, ia harus berlari untuk menghemat waktu.
“Setiap mau berangkat sekolah saya harus berlari agar tidak terlambat ke sekolah kadang naik kuda juga. Tapi rasanya kuda itu lebih lelah daripada saya berlari,” kata Ciputra.
Setelah sepulang sekolah, Ciputra kembali berkebun dan mengurus hewan ternaknya. Hal itu ia lakukan karena desakan Jepang pada zaman penjajahan.
“Jadi ya emang berkebun dan berternak kami sendiri, tidak memakai buruh lain yang mengerjakan ladang kami. Jadi memang tidak ada itu, jiwa feodal,” ucap Ciputra.
Hal sulit yang Ciputra alami saat itu menjadi pelajaran baginya untuk berjuang hidup.
“Dari bawah saya menjalani hidup dan saya menghayati betul suara orang bawah tersebut,” ujar Ciputra.