BEKASI, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak setuju dengan anggapan bahwa integrasi program jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke BPJS Kesehatan sebagai pemborosan.
Dengan integrasi semacam itu, pemerintah daerah memang perlu membayarkan iuran kelas III bagi warganya yang miskin ke BPJS Kesehatan.
"Bukannya tidak boleh ada jamkesda. Tapi kalau dia menggantikan BPJS, gawat, dan kita sudah menegur beberapa daerah juga," ujar Kepala Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan kepada Kompas.com, Selasa (10/12/2019).
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bersikukuh enggan mengintegrasikan program Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK) ke dalam BPJS Kesehatan.
Terkait hal ini, Pahala telah menyurati Pemerintah Kota Bekasi mengenai polemik integrasi KS-NIK pada 29 November 2019.
Ia berpendapat, meskipun secara kasat mata biaya bantuan iuran BPJS Kesehatan cukup besar, namun manfaatnya tak kalah tinggi.
"Tanpa integrasi ke BPJS dan cuma mengandalkan Jamkesda, saya yakin, yang kasihan masyarakatnya nanti. Kalau orang Bekasi sakit yang di Surabaya apa bisa dicover?" ujar Pahala.
Menurut Pahala, perlindungan Jamkesda tak sekuat BPJS. Misalnya, dalam pengobatan kanker yang bisa menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah tak bisa di-cover sepenuhnya oleh Jamkesda.
"Jadi kalau pemerintah daerah tidak mau integrasi ke BPJS karena alasannya akan lebih mahal, itu yang kita larang," kata Pahala lagi.
Pahala mengatakan, KPK turut campur dalam rekomendasi integrasi KS-NIK Kota Bekasi ke dalam BPJS Kesehatan karena ada potensi kecurangan dalam setiap program jaminan kesehatan daerah.
Potensi kecurangan itu, misalnya, klaim dan anggaran ganda dari satu tindakan medis. Kemudian, jenjang pengawasan di tingkat daerah tak seketat di level nasional.
Potensi ini, menurut Pahala, dijumpai secara struktur di berbagai daerah, tak hanya di KS-NIK Kota Bekasi.
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyatakan bahwa integrasi KS-NIK ke BPJS Kesehatan tidak efisien.
"Perhitungan kita, kemarin diintegrasikan dengan iuran Rp 25.000 (kelas III BPJD Kesehatan) saja, kita harus setor Rp 580 miliar," kata Pepen pada konferensi pers di kantornya, Senin (9/12/2019) lalu.
"Di 2020 ini kita cuma keluar Rp 380 miliar (untuk KS-NIK). Berarti (bila dibandingkan), kita masih loss Rp 200 miliar," kata dia.
Pepen mengatakan, ketimbang dana Rp 200 miliar itu lari untuk manfaat yang sebetulnya sudah disediakan lewat KS-NIK, lebih baik digunakan untuk kepentingan lain, seperti pembangunan puskesmas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.