BEKASI, KOMPAS.com – Pemerintah Kota Bekasi menyatakan berseberangan pendapat dengan Pemerintah Pusat soal jaminan kesehatan masyarakat.
Pemkot Bekasi kekeh ingin mempertahankan layanan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK), walaupun Presiden RI Joko Widodo telah meneken Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yang memerintahkan agar layanan jamkesda diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengaku menghormati Perpres tersebut. Ia akan segera mengevaluasi KS-NIK dan menyusun ulang skemanya agar tak tumpang-tindih dengan BPJS Kesehatan.
Baca juga: Tumpang Tindih dengan BPJS Kesehatan, Pemkot Bekasi Akan Susun Skema Baru Kartu Sehat
Akan tetapi, di sisi lain, Rahmat melalui tim Advokasi Patriot pun berencana menggugat Perpres tersebut ke Mahkamah Agung.
Menurut dia, Perpres itu melangkahi Undang-Undang yang ada di atasnya, yakni Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang tentang Kesehatan.
"Saya melihat ada yang salah antara Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ke Perpres-nya (Nomor 82 Tahun 2018), sehingga terjadi monopoli. Padahal kita, (pemerintah) daerah mampu melaksanakan aplikasi (jamkesda) itu dengan sebaik-baiknya," jelas Rahmat Effendi dalam konferensi pers di kantornya, Senin (10/12/2019).
Program KS-NIK memang merebut minat warga Kota Bekasi. Sejak 2012 berjalan sebagai Kartu Bekasi Sehat, kemudian pada 2018 bermetamorfosis menjadi KS-NIK, warga tak dipungut iuran untuk menikmati layanan fasilitas kesehatan kelas III melalui KS-NIK.
Di sisi lain, layanan BPJS Kesehatan kelas III dipungut iuran. Melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2019, Presiden RI Joko Widodo malah menaikkan besaran iuran layanan BPJS Kesehatan kelas III, dari Rp 25.000 menjadi Rp 42.000 per bulan.
Dinas Kesehatan Kota Bekasi mencatat, pada 2018 lalu, KS-NIK sanggup mencapai jumlah pengguna hingga 1 juta lebih warga Kota Bekasi. Angka ini sekitar 40 persen dari total populasi Kota Bekasi yang tembus 2,4 juta.
Baca juga: Wali Kota Bekasi: Integrasi Kartu Sehat ke BPJS Kesehatan Tidak Efisien
Rahmat Effendi mengungkapkan alasannya tidak ingin mengintegrasikan langsung program Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS-NIK) ke dalam BPJS Kesehatan.
Menurut pria yang akrab disapa Pepen itu, integrasi sejenis ini tidak efisien.
Ketimbang menggelontorkan dana untuk menyubsidi iuran BPJS Kelas III, ia pilih mengucurkan uang untuk anggaran KS-NIK. Layanannya sama-sama Kelas III.
"Perhitungan kami, kemarin diintegrasikan dengan iuran Rp 25.000 (kelas III BPJD Kesehatan) saja, kita harus setor Rp 580 miliar," kata Pepen, Senin.
"Di 2020 ini kita cuma keluar Rp 380 miliar (untuk KS-NIK). Berarti (bila dibandingkan), kita masih loss Rp 200 miliar," imbuhnya.
Pepen mengatakan, ketimbang dana Rp 200 miliar itu lari untuk manfaat yang sebetulnya sudah disediakan lewat KS-NIK, lebih baik digunakan untuk kepentingan lain.
Ia mengambil contoh, ongkos membangun 13 unit puskesmas dalam satu tahun saja hanya sekitar Rp 53 miliar.
"Kita kan cari efektifnya, bagaimana anggaran dikelola lebih bagus," ucap politikus Golkar itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak setuju dengan anggapan bahwa integrasi program jaminan kesehatan daerah (jamkesda) ke BPJS Kesehatan sebagai pemborosan.
Kepala Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan berujar, memang di atas kertas pemerintah daerah perlu membayarkan uang lebih besar untuk iuran kelas III warganya yang miskin pada BPJS Kesehatan.
Namun, ia menganggap, manfaat yang akan diperoleh pun selaras dengan anggaran yang dikucurkan.
"Tanpa integrasi ke BPJS dan cuma mengandalkan Jamkesda, saya yakin, yang kasihan masyarakatnya nanti. Kalau orang Bekasi sakit yang di Surabaya apa bisa dicover?" ujar Pahala kepada Kompas.com, Selasa (11/12/2019).
Menurut Pahala, perlindungan Jamkesda tak sekuat BPJS. Misalnya, dalam pengobatan kanker yang bisa menghabiskan biaya hingga miliaran rupiah tak bisa di-cover sepenuhnya oleh Jamkesda.
Baca juga: KPK Tak Setuju Anggapan Wali Kota Bekasi yang Sebut Integrasi Kartu Sehat ke BPJS Tak Efisien
"Jadi kalau pemerintah daerah tidak mau integrasi ke BPJS karena alasannya akan lebih mahal, itu yang kita larang," kata dia.
KPK sebelumnya juga pernah berurusan dengan program KS-NIK. Saat itu, KPK dimintai rekomendasi oleh Pemerintah Kota Bekasi mengenai integrasi program tersebut dengan BPJS Kesehatan, sebelum pengesahan RAPBD 2020 akhir November 2019 lalu.
Pasalnya, Pemerintah Kota Bekasi “bingung”, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tak mengizinkan adanya anggaran jamkesda dalam RAPBD 2020. Sedangkan, anggaran untuk program KS-NIK 2020 sudah telanjur dianggarkan.
Dalam surat balasan KPK kepada Pemkot Bekasi, lembaga antirasuah itu merekomendasikan agar program KS-NIK diintegrasikan ke dalam BPJS Kesehatan.
Seandainya KS-NIK tetap ingin dipertahankan, program itu sebaiknya dialihkan sebagai “penambal” celah layanan yang tak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Selain itu, Pahala mengatakan, KPK turut campur dalam rekomendasi integrasi KS-NIK Kota Bekasi ke dalam BPJS Kesehatan karena ada potensi kecurangan dalam setiap program jaminan kesehatan daerah.
Potensi kecurangan itu, misalnya, klaim dan anggaran ganda dari satu tindakan medis. Kemudian, jenjang pengawasan di tingkat daerah tak seketat di level nasional.
Potensi ini, menurut Pahala, dijumpai secara struktur di berbagai daerah, tak hanya di KS-NIK Kota Bekasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.