“Nak mari berdoa, agar Bapak selamat dari penembakan. Berita gencar, di setiap lembaran koran, tentang dibunuhnya para bromocorah,” begitu petikan tembang itu.
Zaman itu, nyawa seorang residivis ada di ujung pistol Petrus (penembak misterius) Orde Baru. Entah kapan saja, peluru bakal bersarang di tubuh residivis, tak peduli di emperan toko, pinggir sungai, atau tengah jalan raya.
Residivis alias pelaku kriminal yang mengulang kejahatan yang sama itulah “bromocorah” yang dimaksud Iwan Fals dalam gubahannya.
Man Rambo adalah bromocorah itu. Ia hanya satu dari ratusan residivis yang nelangsa keluarganya tergambarkan dalam lagu Iwan Fals berjudul Senandung Istri Bromocorah.
Tahun 1982, tepat sedekade usai keluar dari rahim bundanya, Rambo mengawali debut sebagai jambret.
Di umur segitu, Rambo mengaku sudah pernah mengecap aspal Ibukota sebagai tukang semir sepatu keliling.
“Adik saya dua sakit keras. Ibu bawa piring, sendok, dan gelas. Saya diajak. Kita keliling ke tetangga-tetangga, ke pasar dari ujung ke ujung. Ditawari piring, sendok, dan gelas itu tidak ada yang mau beli. Ibu saya pulang menangis, enggak bisa ngobatin adik saya,” kisah Rambo.
Terdesak, bocah seumuran murid kelas 4 SD zaman sekarang itu keliling terminal di Wonokromo. Seorang ibu tengah membeli jeruk. Merasa cukup membuntutinya, Rambo lalu menggasak tas ibu tersebut.
Baca juga: Awasi Peredaran Narkoba Selama Libur Akhir Tahun di Kepulauan Seribu, Polisi Turunkan Intelijen
Dari duit Rp 37.000 dalam tas itu, Rambo mencomot Rp 5.000, supaya bundanya tak heran bocah semungil itu dari mana sanggup punya Rp 5.000 – yang nilainya besar di zaman itu.
Ia sodorkan lembaran uang itu ke tangan bundanya di rumah buat ongkos berobat kedua adiknya.
“Saya bilang nemu di angkot,” kata Rambo.
Seiring usia makin mekar, Rambo makin sering cawe-cawe di terminal. Wara-wiri di antara kawanan kriminal. Di Jakarta, Wonokromo, maupun Surabaya.
“Terminal itu tempat solidaritas paling tinggi. Saya bolak-balik Wonokromo-Jakarta, main di terminal. Di Jakarta saya besar di (Terminal) Senen,” ujarnya.
Rambo mengaku senantiasa berupaya mengail nafkah yang halal, kendati di belakang punggungnya berbaris kawanan spesialis jambret terminal.
Menggendong pikulan semir sepatu ia jalani, duduk di jok supir bus Surabaya-Malang ia lakoni. Rambo bilang, ia segan bertempur, dan hanya akan melakukannya andai tersudut.
Baca juga: Perjalanan Kasus Zul Zivilia, Diduga Edarkan Narkoba hingga Dituntut Seumur Hidup