JAKARTA, KOMPAS.com - Sekilas tidak ada yang berbeda dari Kampung Sawah dengan kampung-kampung lainnya.
Seperti kampung pada umumnya, suasana di sini masih rindang dengan pepohonan meskipun sudah banyak pendatang dan pengembang yang membangun rumah di sana.
Salah satu yang mencolok dari kampung yang berlokasi di Kota Bekasi, Jawa Barat ini adalah kisah toleransinya yang turun-temurun.
Masyarakat Kampung Sawah menerapkan sikap toleransi mulai dari kegiatan sehari-hari sampai pada saat perayaan hari raya islam dan nasrani.
Hal ini karena Kampung Sawah memiliki segitiga emas. Segitiga emas yang dimaksud adalah tiga rumah ibadah yang jaraknya berdekatan, yaitu Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Gereja Kristen Pasundan, dan Gereja St. Servatius.
Contoh sikap toleransi sehari-hari mereka adalah suara adzan dari Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi yang tidak terlalu besar ketika ada ibadah di kedua gereja yang berada 50-150 meter dari masjid.
Baca juga: Semangat Keberagaman Natal dari Kampung Sawah...
Persaudaraan antar umat beragama yang kental juga terasa pada hari raya, baik hari raya Islam atau Nasrani.
Setiap natal dan lebaran, baik Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi ataupun Gereja St. Servatius pasti memberikan lahan parkir mereka untuk jemaat yang hadir pada hari raya di salah satu rumah ibadah membludak.
“Sikap seperti ini (bertoleransi antar umat beragama) sudah menjadi keseharian kami. Jadi sebetulnya bukan sesuatu yang perlu diherankan karena memang sudah seharusnya begini,” ujar Jacob Napiun, Pemuka Agama Katolik setempat.
Selain saling membantu dalam kegiatan ibadah, mereka juga saling membantu dalam kegiatan di luar ibadah.
"Kita saling membantu tidak hanya saat hari raya. Kalau ada yang meninggal atau ada yang mau mengadakan resepsi pernikahan, ya kita bantu juga," ujar Rahmadin Afif, Pemuka Agama Islam sekaligus pendiri Masijd Agung Al-Jauhar Yasfi.
Bila bertanya dari mana sikap toleransi yang kental bisa ada di Kampung Sawah, maka kedua pemuka agama tadi akan sama-sama menjawab “Sudah warisan leluhur kami.”
Namun bila membahas dari mana akar sikap toleransi ini terbentuk, Jacob pernah mengatakan ia pernah membaca salah satu tulisan karya arkeolog UI yang menjelaskan bahwa sekitar tahun 400-an sudah ada komunitas yang kehidupan masyarakatnya berbaur pada Bekasi tempo dulu.
"Kalau ditanya sejarahnya dari mana bisa bertoleransi, saya, kakek saya, dan generasi terdahulunya lagi memang terlahir seperti ini (memiliki sikap toleransi)," ujar Jacob.
Jacob pun mengenang, saat ia remaja, ia suka ikut memukul bedug ketika malam takbiran.
"Dulu waktu di sini baru ada musholla, saya suka ke luar kalau malam takbiran. Terus suka nungguin temen yang lagi solat tarawih," kenang Jacob.
Jacob dan Rahmadin sama-sama optimis bahwa budaya toleransi ini tidak akan luntur meskipun banyak pendatang.
"Kami punya prinsip begini, kalau Anda datang ke Kampung Sawah, tinggal di Kampung Sawah, apalagi sudah minum air Kampung Sawah, maka Anda harus menjadi orang Kampung Sawah," ujar Jacob.
"Artinya Anda harus menjadi bagian dari tradisi yang ada di sini. Jangan paksakan tradisi bawaan kalian yang tidak sejalan dengan tradisi di sini," tambah Jacob.
Untuk dapat menjaga sikap pendatang agar toleransi di kampung ini tetap bertahan, mereka memiliki 3 pilar, yaitu pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah.
Ketiga pilar ini bersinergi membangun dan menjaga apabila ada budaya intoleran yang dibawa masuk pendatang.
Selain saling menghargai kehidupan dengan tetangga dan teman, beberapa warga di Kampung Sawah memiliki anggota keluarga yang berbeda keyakinan.
“Dalam satu keluarga besar, agamanya bisa beda-beda. Seiring berjalannya waktu ada yang pindah keyakinan. Ya dispensasi lah, dan itu enggak apa-apa selama tidak mengusik satu sama lain,” ujar Tris, istri Jacob Napiun.
“Kamu ingin pindah (keyakinan) silakan, asal kamu meyakini dengan sungguh-sungguh apa yang kamu pilih,” tambah Tris.
Bagaimana pun yang mengikat tali saudara/keluarga adalah darah, bukan keyakinan.
“Saya dan bapak (Jacob) juga punya anggota keluarga yang berbeda (keyakinannya). Adik bapak juga ada yang bukan katolik,” tambah Tris.
Selain perbedaan agama pada anggota keluarga besar, perbedaan agama juga terjadi dalam satu atap alias suami istri yang berbeda keyakinan.
Meski Jacob mengatakan memang beberapa warga Kampung Sawah ada yang satu atap beda keyakinan namun untuk proses menikahnya tetap dilakukan satu agama.
"Tidak ada pernikahan beda agama. Pernikahan tetap dilakukan dengan prosedur salah satu agama. Namun seiring berjalannya waktu apabila salah satu pasangan merasa lebih nyaman dengan agama sebelum ia menikah itu bisa didiskusikan. Itu yang biasanya terjadi,” ujar Jacob.
Di Kampung Sawah setiap hari raya, entah lebaran, paskah, atau natal, salah satu umat yang merayakan hari raya akan mendatangi rumah ke rumah untuk berbagi makanan kepada tetangga yang tidak merayakan salah satu hari raya tadi.
"Bahkan Pak Kyai (Rahmadin Afif) kalau habis solat ied, setelah saya membantu mengamankan parkiran Jemaah di Yasfi, beliau selalu bilang ‘Jangan pulang dulu sebelum makan ketupat’,” ujar Jacob.
Menurut Jacob, tradisi ini merupakan salah satu simbol berbagi kebahagiaan dan bukan lah sesuatu yang haram untuk dilakukan.
Rahamadin pun sebagai Pemuka Agama Islam Kampung Sawah menanggapi soal pendapat tentang mengucapkan selamat natal ke umat Nasrani itu haram.
Baginya di Kampung Sawah tidak mempermasalahkan untuk mengucapkan hari raya umat selain agama islam.
“Kalau ada orang yang yang berpendapat haram itu terserah. Tapi di sini enggak dipermasalahkan,” ujar Rahmadin.
“Ya kalau menurut mereka mengucapkan selamat natal tidak boleh, ucapkan selamat saja. Hidup itu kan harus selamat. ‘Selamat ya!’ udah gitu aja, enggak usah pusing-pusing,” tambah Rahmadin.
Beberapa orang di Kampung Sawah memiliki marga di akhir namanya. Ada sekitar 70 marga yang khas dimiliki warga Kampung Sawah, antara lain seperti Nataneal, Napiun, dan Niman.
Orang dengan marga-marga itu adalah bagian dari keuturunan orang-orang pertama yang tinggal di Kampung Sawah.
“Identitas ini menjadi pengenal bahwa kita ini saudara. Kendati beda marga tetapi kita berasal dari satu daerah, Kampung Sawah,” ujar Jacob yang merupakan generasi ke-5 dari keluarga bermarga Napiun.
"Jadi dulu antara daratan dan sawah, di sini lebih banyak sawah. Kampung Sawah ini memanjang dari utara ke selatan, terus sebelah timurnya sawah, tapi sekarang sudah jadi Komplek Purigading dan sebelah baratnya juga sawah terus sekarang udah jadi perumahan juga,” ujar Rahmadin.
Saking dipenuhi dengan sawah, Tris juga bercerita bahwa saat ia kecil kalau ke luar rumah yang ia lihat adalah sawah, bukan rumah orang.
"Jalanan betul-betul tanah semua, berlumpur pula karena sawah," ujar Tris.
Tidak disangka ternyata kampung yang sering disebut Kampung Lintas Agama ini warganya sudah ruku dengan segala keberagamannya sejak tanahnya masih penuh dengan sawah sampai sudah bertransformasi menjadi pemukiman.
"Di sini itu tidak ada yang namanya mayoritas dan minoritas, semuanya sama. Jadi untuk apa bersitegang?" ujar Jacob.
"Harusnya yang menjadi pertanyaan bukan kenapa kampung kami bisa bertoleransi tetapi kenapa daerah lain ada yang tidak bisa?" ujar Rahmadin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.