JAKARTA, KOMPAS.com - Akhir tahun sudah di depan mata, semua orang akan merayakannya dengan cara mereka sendiri. Cara paling umum untuk merayakan malam pergantian tahun adalah dengan berkumpul.
Saat sedang berkumpul, biasanya ada saja teman atau anggota keluarga yang meniup terompet ketika pukul 23.59 berubah menjadi pukul 00.00 dan berubah lah 31 Desember menjadi 1 Januari.
Terompet memang sangat identik dengan perayaan pergantian tahun. Namun, di balik terompet yang bisa ditiup semua orang, ada perjuangan yang dilalui perajin dan penjual terompet.
Di seberang Depo Biru dan Sons, Pinangsia, Kota Tua, Jakarta Barat ada ruko-ruko yang sudah tutup. Di depan ruko-ruko itu ada sepasang suami istri yang sedang membuat terompet dengan beralaskan tikar anyam tipis. Mereka adalah Saima (wanita kelahiran 1986) dan Ujang (pria kelahiran 1974).
Baca juga: Jelang Tahun Baru, Penjualan Terompet Lesu, Omzet Turun 75 Persen
Mereka tidak berjualan sendirian, di kiri dan kanan mereka ada tiga pedagang terompet lain. Mereka menunggu pembeli dengan duduk dan melamun. Ada juga yang menunggu pembeli sambil menikmati teriknya panas Kota Jakarta dengan hanya celana pendek.
Saima dan Ujang yang duduk dikelilingi puluhan terompet langsung sigap menawarkan terompet ketika ada yang menghampiri lapak mereka, meskipun mereka sedang serius menyatukan badan terompet dengan mulut terompet.
"Mau yang mana, dek?" tanya Ujang kepada pembelinya.
Saima dan suami sudah berjualan sejak 2003. Selain berjualan mereka juga membuat sendiri terompet-terompet yang mereka jual. Mereka benar-benar hanya berdua dalam membuat terompet yang mereka jual.
"Ya berdua aja kalo bikin terompet mah. Kalo nyuruh orang keluar duit lagi, enggak ada duitnya," ujar Saima dengan logat khas Bekasi.
Saima dan suami bisa membawa ratusan terompet karena dia sudah menjual terompet-terompetnya satu minggu sebelum malam tahun baru dirayakan. Mereka membawa terompet-terompet ini dengan mobil bak.
Baca juga: Zaman Berganti, Peminat Terompet Karton Tidak Seramai Dulu
"Suami saya udah mondok di daket sini dari sabtu kemarin (21/12/2019) kalo saya baru hari ini datang ke sini bantu jualannya," ujar Saima.
Selain itu alasan Saima dan suami bisa membawa ratusan terompet dari Sukatani ke Jakarta karena mereka sudah punya pelanggan yang tiap tahunnya bisa memesan sampai 200 terompet. Pelanggan mereka adalah salah satu hotel di kawasan Senayan.
Naik turun tentu pernah dirasakan semua pedagang, termasuk dalam kehidupan usaha terompet yang dijalani Saima dan Ujang.
Pada tahun 2016 bukan untung yang mereka dapat melainkan buntung. Isu bakteri dari terompet yang sudah ditiup pedagang membuat mereka tidak dapat menjual satu terompet pun di tahun itu.
Baca juga: Soal Durian hingga HIV Tersebar karena Terompet, Ini 3 Hoaks Kesehatan pada 2018
Di tahun-tahun sebelum 2016 mereka bisa mendapat penghasilan kasar sebesar Rp 6 juta rupiah dengan keuntungan bersih Rp 3-4 juta.