JAKARTA, KOMPAS.com - Ida (29), warga Kampung Duri yang mengungsi di GOR Cengkareng, Jakarta Barat, siang itu tengah duduk sambil menjaga kedua anaknya.
Ida mengaku tidak pernah berniat mengungsi lantaran banjir yang menggenangi rumahnya pada Rabu (1/1/2020) lalu hanya sepinggang.
Namun, ia akhirnya turut mengungsi karena mengutamakan kondisi anaknya yang masih kecil dan orangtuanya yang sudah sakit-sakitan.
"Orangtua saya kakinya bengkak, makanya saya enggak mungkin tinggal di rumah. Apalagi ada anak juga, kasihan nanti dia juga ikutan sakit," ujar Ida.
Tanpa membawa perbekalan apa-apa, Ida langsung bergegas ke posko pengungsi di Grand Park untuk menyelamatkan anak serta orangtuanya.
Ida tak lagi sempat mengurus harta, berkas, dan dokumen penting lantaran air yang semakin meninggi.
Baca juga: Dilihat dari Jumlah Pengungsi, Kota Bekasi Terdampak Banjir Paling Parah
"Nyelamatin diri dulu yang utama, baru harta. Saya saja enggak sempat bawa baju pas banjir kemarin," ujarnya.
Ida baru kali pertama mengungsi di posko banjir, meski sebelumnya sudah pernah merasakan banjir besar pada 2007 lalu. Ia berpendapat, banjir kali ini tidak separah ketika 2007.
"Waktu 2007, pernah kayak gini, cuma lebih parah. Rumah saya tenggelam, lalu saya tinggal di rumah tante yang tidak kebanjiran di Cengkareng," ujarnya.
Meskipun banjir sudah surut sejak Jumat (3/1/2020) pagi, ia memilih tinggal di posko pengungsian demi kedua anaknya.
"Saya di sini sejak Rabu dini hari. Mau pulang juga enggak bisa, soalnya masih banyak lumpur banjir di rumah. Kasihan anak saya nanti," ujar Ida.
Selain itu, listrik dan air belum juga bisa menyala pascabanjir besar yang melanda wilayah Cengkareng, sehingga ia tidak bisa beristirahat di rumah.
Ida bercerita, ketika pertama kali datang ke posko pengungsian, air bersih sangatlah sulit.
Jangankan untuk mandi, untuk cuci muka dan wudhu pun sudah bersyukur. Selain itu, air minum pun baru datang pada Rabu (1/1/2020) sore.
Tak hanya air, pengungsi pun cukup kesulitan mendapat asupan makanan bergizi. Sebab, untuk bahan makanan, posko pengungsi hanya tersedia mi instan, nasi, dan telur.
Baca juga: Banjir Mulai Surut, Warga Rawa Buaya Tetap Tinggal di Posko Banjir
Ida pun menjadi khawatir dengan pencernaan anaknya jika hanya mengonsumsi bahan makanan tersebut.
"Saya juga khawatir sama pencernaan anak. Makanya saya kasih susu sama biskuit daripada mi," tambahnya.
Namun, Ida tetap bersyukur dengan itu semua itu. Ia mengambil hikmah dari kejadian pascabanjir yang menimpanya.
"Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi? Ini aja udah dapet tempat ngungsi aja udah bersyukur banget," tambahnya.
Para pengungsi sulit tidur
Selama mengungsi, Ida beserta anak-anaknya mengalami kesulitan tidur. Penuhnya pengungsi di posko membuat ia sulit untuk tidur.
Apalagi mereka hanya tidur di lantai yang beralaskan karpet. Tak hanya itu, cuaca yang dingin semakin menggigit dengan dioperasikannya AC dalam ruangan GOR Cengkareng.
Ida menambahkan, selain cuacanya yang dingin, suasana di dalam GOR Cengkareng sangatlah berisik.
"Berisik banget di dalam, soalnya banyak anak-anak nangis, enggak bisa tidur," ucap dia.
Baca juga: Gara-gara Tak Bisa Tidur, Angga Dwimas Sasongko Bikin Posko Banjir
Selain itu, posisi tidur yang berdesak-desakan membuat Ida dan keluarganya kian sulit tidur.
Begitu juga dengan Siti (59), salah satu warga yang sulit menemukan posisi tidur lantaran para pengungsi hanya bermodalkan karpet. Siti mengaku sulit untuk tidur karena umurnya yang sudah uzur dan mudah meriang.
"Kalau di rumah biasa tidur di kasur, sekarang tidur di lantai. Jadi susah banget buat adaptasinya," tambahnya.
Siti belum ada rencana untuk beristirahat di rumah meskipun banjir sudah surut. Siti terpaksa harus menginap di posko pengungsian karena air dan listrik belum nyala, serta kasur di rumahnya basah akibat terendam banjir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.