KITA berduka terhadap korban yang jatuh, prihatin atas banjir yang terjadi. Namun, penyebab tetap harus dicari. Apakah ini memang bencana yang tak bisa dielakkan atau kelalaian?
Tak mudah untuk mendudukan masalah banjir yang merendam Jakarta di awal tahun 2020 kemarin.
"Saya siap menjawab apapun terkait banjir. Kami bertanggung jawab atas apa semua yang terjadi, tanpa menyalahkan apapun," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ditanya soal silang pendapatnya dengan Menteri Pekerjaa Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.
Basuki mengkritik Anies soal normalisasi yang baru dilakukan sepanjang 16 km dari target 33 km.
Anies mengatakan ia tak mau berdebat soal penyebab banjir. Menurut Anies, selayaknya fokus diarahkan pada evakuasi dan penanganan tanggap darurat. Pemprov DKI bekerja 24 jam dibantu TNI, Polri, BNPB hingga pemerintah pusat.
Pernyataan Basuki soal normalisasi sungai yang ditujukan kepada Anies disampaikan sesaat setelah melakukan pemantauan via udara bersama Anies dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
"Mohon maaf Bapak Gubernur dalam penyusuran Kali Ciliwung nyata, sepanjang 33 km yang sudah ditangani normalisasi 16 km. Di 16 km itu kalau kita lihat Insya Allah aman dari luapan, tapi yang belum di normalisasi tergenang," kata Basuki.
Anies yang berdiri di samping Basuki segera menjawab.
"Untuk normalisasi, mohon maaf Pak Menteri saya harus berpandangan karena tadi Bapak menyampaikan. Jadi, selama air dibiarkan dari kawasan selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan maka apapun yang kita kerjakan di kawasan pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya. Jadi kita sudah menyaksikan di bulan maret yang lalu di kawasan Kampung Melayu yang sudah dilakukan normalisasi itupun masih mengalami banjir yang cukup ekstrem,” kata Anies.
Silang pendapat terjadi. Ada 2 perbedaan.
Pertama, Basuki menekankan soal normalisasi di hilir yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.
Sementara, Anies menekankan apa yang terjadi di hulu yaitu soal bendungan raksasa yang belum rampung dikerjakan Kementerian PUPR.
Apakah keduanya bisa menjamin tak ada lagi banjir di Jabodetabek?
Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas ada yang dilupakan yaitu wilayah di tengah. Ada 13 sungai yang mengalir ke Jakarta melalui Kota Depok.
Hasil wawancara saya dengan Wakil Walikota Depok Pradi Supriatna, ada 23 setu masing-masing seluas 5 hingga 10 hektar tidak dirawat dengan baik.
Kondisinya kini ditanami alang-alang, pendangkalan dengan kedalaman hanya kurang dari 1 meter dari seharusnya sekitar 5 meter.
Menurut Pradi, Pemkot Depok tidak dapat memperbaiki ke-23 setu ini karena milik pemerintah pusat.
Saya juga menemukan data bahwa naturalisasi sungai Ciliwung baru akan dikerjakan pada 2020 ini karena anggaran baru ditetapkan pada 2019.
Hal ini sempat disampaikan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane Bambang Hidayat pertengahan tahun lalu.
Catatan lain, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa curah hujan saat tahun baru lalu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Pada banjir besar 2002, 2007, 2013, rata-rata curah hujan berkisar 100 mm per hari. Saat tahun baru kemarin naik 3 kali lipat lebih menjadi 355 mm per hari. Bahkan di kawasan Halim Perdana Kusuma tercatat 377 mm per hari.
Saya bertanya kepada ahli Bencana Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Profesor Jan Sopaheluwakan, “Apakah Banjir Jabodetabek ini masuk ke dalam bencana atau kelalaian?”
Ia menjawab, banjir tak seperti bencana lain. "Banjir bisa dipersiapkan dan diantisipasi."
Hanya saja, Jakarta misalnya salah perencanaan sejak marak dibangunnya permukiman pusat perbelanjaan.
Banjir di seputaran pusat perbelanjaan di Senayan pada pertengahan Desember lalu, menurut Jan, terjadi akibat penurunan tanah karena pembangunan sejumlah mal besar di wilayah Senayan.
"Ya, saya pastikan berdasarkan tim kami yang bekerjasama dengan ITB (Institut Teknologi Bandung), ada penurunan tanah di sekitar Mal di Senayan," kata Jan kepada saya.
Maraknya pembangunan mal di Jakarta sejak akhir 90-an hingga awal 2000-an membuat potensi banjir semakin tinggi karena mal menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah karena ruang terbuka hijau resapan air berkurang secara drastis.
Belum lagi soal "pencurian" air tanah yang masih mungkin terjadi di sejumlah gedung - gedung pencakar langit di Jakarta.
Selain itu, ada potensi curah hujan melonjak tinggi pada satu waktu karena perubahan iklim.
Tak ada jalan lain: dibutuhkan perencanaan menyeluruh soal banjir Jakarta, baik dari hulu, tengah, hilir, lintas pemerintah pusat, daerah, hingga warga.
Tidak hanya cukup rencana dan wacana. Yang terpenting harus dieksekusi. Segera.
Ketika saya tanya kepada Jan apakah banjir besar terakhir ini yang sebelumnya tidak pernah terjadi adalah bencana atau kelalaian, ia menjawab,
"Kelalaian yang menyebabkan bencana!"
Saya Aiman Witjaksono...
Salam !
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.