"Iya sudah dua minggu gelap gini. Tidur sama keluarga pakai tikar karena barang tidak ada yang terbawa," katanya seiring mengusap air mata.
Baca juga: 2 Food Truck ACT Jadi Dapur Umum Pengungsi Banjir Jakarta
Suami Aci, Satim mengaku rindu dengan rumahnya. Meskipun tempat mengungsi yang mereka huni berukuran lebih besar.
"Saya, anak-anak sama cucu sudah tidak betah. (rumah) besar berlantai tapi bukan milik. Enak rumah sendiri, tapi sudah hancur. Sempat lihat kemarin, lumpur di rumah sudah sepinggang," ucap Satim.
Belum lagi hidup harus bergantung kepada bantuan orang lain di pengungsian karena lahan yang selama ini untuk ditanami padi, pisang dan singkong sebagai mata pencaharian rata saat bencana.
Akses jalan yang terputus karena longsor pun dimanfaatkan masyarakat lain untuk mencari keuntungan.
Harga gas yang sebelumnya hanya Rp 20 ribu, kini mencapai Rp 80 ribu. Belum lagi bensin eceran, dari awalnya Rp 10 ribu, saat ini menjadi Rp 30 ribu per-liternya.
"Semua bahan pada naik. Jadi masak pakai kayu. Alhamdulillah bantuan dari dua hari bencana itu ada aja yang datang beras minyak dan lain ada aja," katanya.
Kini, Satim berharap juga ada bantuan atau solusi untuk mendapatkan tempat tinggal.
Karena penghasilan dari bertani tak cukup untuk membeli bahan bangunan, apalagi sepetak tanah.
"Saya petani. Semua kebanyakan petani di sini. Buat bisa punya tanah dan rumah, susah. Tidak ada uang. Kita mau hari-hari mau makan saja, jual kayu bakar. Harapannya ada bantuan tempat tinggal saja, " tutupnya berharap.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.