Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kilas Balik Banjir Jakarta 1996: Banjir Terburuk Tahun 1990-an yang Melumpuhkan Aktivitas Warga

Kompas.com - 15/01/2020, 18:09 WIB
Rindi Nuris Velarosdela,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bencana Banjir besar yang melanda Jakarta pada awal tahun 2020 bukan pertama kali terjadi.

Banjir memang kerap merendam wilayah Jakarta sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Banjir pada awal tahun juga pernah melumpuhkan Jakarta pada tahun 1996.

Catatan Harian Kompas tanggal 7 Januari 1996, bencana banjir merendam Ibu Kota.

Tercatat puluhan ribu rumah di Kelurahan Bidara Cina, Kampung Melayu, Bukit Duri, dan Kebon Baru terendam akibat meluapnya Sungai Ciliwung.

Selain itu, hujan yang turun secara terus menerus juga memperparah kondisi banjir di Jakarta.

Bahkan, banjir tahun 1996 disebut sebagai banjir terburuk sejak tahun 1987.

Baca juga: Kilas Balik Masa Pemerintah Hindia Belanda: Banjir Terbesar Jakarta Terjadi Tahun 1621 dan 1918

Banjir itu juga mengakibatkan satu mushola ambruk dan satu jembatan betok yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, hanyut terbawa air.

Ketinggian air di wilayah Kampung Melayu mencapai 4 meter 35 sentimeter. Ketinggian air itu melebihi ketinggian banjir yang melanda Depok pada tahun 1987 dan 1993.

Menurut warga bernama Daeng Husein Umar yang tinggal di kelurahan Bidaracina kala itu, ketinggian banjir yang merendam wilayah itu pada tahun 1987 mencapai 2,8 meter, sedangkan pada tahun 1993 ketinggian air mencapai 3,5 meter.

"Tahun 1996 ini ketinggian air di Depok tercatat 4,35 meter. Ini betul-betul banjir terburuk," kata Husein Umar yang pernah menjabat Lurah Bidaracina (1986-1993) itu kepada Kompas.

Petaka banjir masih terus membayangi warga Ibu Kota pada 1996. Pasalnya, warga Jakarta harus rela diterjang banjir selama dua bulan berturut-turut.

Jika pada awal Januari 1996, banjir hanya merendam bantaran Sungai Ciliwung dan Banjir Kanal Barat, maka pada Februari 1996, banjir mendadak menerjang seluruh penjuru Jakarta.

Baca juga: Cerita Ali Sadikin Tongkrongi Pintu Air Manggarai dan Upaya Atasi Banjir Jakarta

Banjir Februari 1996 bahkan turut merendam Bandara Soekarno-Hatta, wilayah Grogol, Jatinegara, Petogokan, Petamburan, Karet Tengsin, Serdang, Sumur Batu, dan Gandaria Selatan.

Pada April 1996, Jakarta kembali terendam banjir akibat meluapnya Kali Cipinang dan Kali Pesanggrahan yang melintasi wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.

Bahkan, banjir tersebut sempat melumpuhkan arus lalu lintas di depan Plaza Cipulir di samping Kali Pesanggrahan.

Catatan Harian Kompas tanggal 3 April 1996, banjir mengakibatkan kemacetan sepanjang 3 kilometer, mulai dari Jalan M Saidi hingga muara Jalan Panjang.

Semua kendaraan dari arah Kebayoran Lama menuju Ciledug terpaksa berbalik arah.

Polisi harus menerapkan rekayasa lalu lintas untuk mengurai kemacetan.

Baca juga: Cerita Ali Sadikin Bandingkan Banjir Zaman Batavia dengan Saat Pemerintahannya

Sebagian orang yang terdampak banjir masih mempertanyakan mengapa luapan Sungai Ciliwung selalu merendam Jakarta, padahal pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk mengendalikan banjir?

Catatan Harian Kompas tahun 1996, wilayah DKI Jakarta adalah wilayah dataran rendah, sementara itu di bagian selatan Jakarta terbentang dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur.

Kondisi geografis itulah yang menyebabkan wilayah DKI Jakarta selalu dikontrol oleh wilayah yang lebih tinggi.

Apabila kondisi hidrologi dan lingkungan wilayah dataran tinggi tersebut seimbang, artinya air hujan dapat terserap dengan baik ke dalam tanah, maka banjir tidak akan terjadi di Jakarta.

Sebaliknya, apabila kondisi penyerapan air tidak seimbang, maka banjir jelas akan merendam Jakarta.

Faktanya, air hujan yang turun di wilayah dataran tinggi dan Jakarta tidak terserap dengan baik, sehingga air hujan langsung meluncur ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.

Akibatnya, wilayah bantaran Sungai Ciliwung kewalahan menampung air hujan dan mengakibatkan banjir.

Sementara itu, ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan seperti dikutip Harian Kompas tanggal 18 Januari 2013 mengatakan, banjir Jakarta tak akan bisa diselesaikan dengan sistem kanal. Alasannya, geologis Jakarta berbentuk cekungan.

Selain itu, kata Sopeheluwakan, kawasan utara Jakarta yakni Ancol dan Teluk Jakarta juga mengalami pengangkatan karena proses tektonik.

Sehingga, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut.

Air tersebut akhirnya terperangkap di cekungan besar Jakarta yang menyebabkan banjir.

Ketiga belas sungai itu adalah Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru/Pasar Minggu, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jatikramat, dan Kali Cakung.

”Itu sebabnya, Teluk Jakarta tidak bisa membentuk delta, seperti Delta Mahakam di Kalimantan. Endapan kasar yang dibawa sungai-sungai mengendap di cekungan Jakarta sehingga tidak sampai ke laut dan membentuk delta,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemkot Tangsel Menanti Bus Transjakarta Rute Pondok Cabe-Lebak Bulus Beroperasi

Pemkot Tangsel Menanti Bus Transjakarta Rute Pondok Cabe-Lebak Bulus Beroperasi

Megapolitan
Jelang Hari Terakhir, Jakarta Lebaran Fair Masih Ramai Dikunjungi

Jelang Hari Terakhir, Jakarta Lebaran Fair Masih Ramai Dikunjungi

Megapolitan
Berenang di Kolam Dewasa, Bocah 7 Tahun di Bekasi Tewas Tenggelam

Berenang di Kolam Dewasa, Bocah 7 Tahun di Bekasi Tewas Tenggelam

Megapolitan
Bangunan Toko 'Saudara Frame' yang Terbakar Hanya Punya 1 Akses Keluar Masuk

Bangunan Toko "Saudara Frame" yang Terbakar Hanya Punya 1 Akses Keluar Masuk

Megapolitan
Pemkot Dukung Proyek MRT Menuju Tangsel, tetapi Butuh Detail Perencanaan Pembangunan

Pemkot Dukung Proyek MRT Menuju Tangsel, tetapi Butuh Detail Perencanaan Pembangunan

Megapolitan
Fakta-fakta Penemuan Jasad Wanita yang Sudah Membusuk di Pulau Pari, Hilang Sejak 10 Hari Lalu

Fakta-fakta Penemuan Jasad Wanita yang Sudah Membusuk di Pulau Pari, Hilang Sejak 10 Hari Lalu

Megapolitan
Cerita 'Horor' Bagi Ibu Pekerja Setelah Lebaran, ART Tak Kembali dan Minta 'Resign'

Cerita "Horor" Bagi Ibu Pekerja Setelah Lebaran, ART Tak Kembali dan Minta "Resign"

Megapolitan
Polisi Pastikan Kecelakaan yang Tewaskan Penumpang Motor di Bekasi Bukan karena Balapan Liar

Polisi Pastikan Kecelakaan yang Tewaskan Penumpang Motor di Bekasi Bukan karena Balapan Liar

Megapolitan
MRT Bakal Masuk Tangsel, Wali Kota Harap Ada Pembahasan dengan Pemprov DKI

MRT Bakal Masuk Tangsel, Wali Kota Harap Ada Pembahasan dengan Pemprov DKI

Megapolitan
Polisi Periksa Satpam dan 'Office Boy' dalam Kasus Pencurian di Rumah Pemenangan Prabowo-Gibran

Polisi Periksa Satpam dan "Office Boy" dalam Kasus Pencurian di Rumah Pemenangan Prabowo-Gibran

Megapolitan
Sudah Rencanakan Aksinya, Maling Motor Naik Ojol ke Benhil untuk Cari Target

Sudah Rencanakan Aksinya, Maling Motor Naik Ojol ke Benhil untuk Cari Target

Megapolitan
4 Korban Kebakaran 'Saudara Frame' yang Disemayamkan di Rumah Duka Jelambar adalah Satu Keluarga

4 Korban Kebakaran "Saudara Frame" yang Disemayamkan di Rumah Duka Jelambar adalah Satu Keluarga

Megapolitan
4 Korban Kebakaran di Mampang Disebut Akan Dimakamkan di TPU Gunung Gadung Bogor

4 Korban Kebakaran di Mampang Disebut Akan Dimakamkan di TPU Gunung Gadung Bogor

Megapolitan
Polisi Tunggu Hasil Laboratorium untuk Tentukan Penyebab Kematian Perempuan di Pulau Pari

Polisi Tunggu Hasil Laboratorium untuk Tentukan Penyebab Kematian Perempuan di Pulau Pari

Megapolitan
Maling Motor di Tanah Abang Ditangkap Warga, Sempat Sembunyi di Kandang Ayam

Maling Motor di Tanah Abang Ditangkap Warga, Sempat Sembunyi di Kandang Ayam

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com