JAKARTA, KOMPAS.com - Kehidupan anak-anak yang beranjak remaja merupakan masa tumbuh kembang yang berharga.
Di mana, pada masa itu, mereka bisa sepuasnya mengeksplor kemampuan diri untuk berbagai kegiatan seni, menggenjot prestasi akademis, dan asyik-asyiknya menggeluti hobi.
Namun, kebebasan itu tak dirasakan anak-anak usia 14-18 tahun yang dieksploitasi secara seksual di Penjaringan, Jakarta Utara.
Mereka dipaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK) di sebuah kafe di Kelurahan Rawa Bebek, Penjaringan.
Menapa mereka mau diperlakukan seperti itu?
Anak-anak berusia di bawah umur itu umumnya tidak mengetahui bahwa mereka akan dipekerjakan sebagai PSK.
Mereka adalah anak-anak dari daerah luar Jakarta yang tengah mencari pekerjaan melalui media sosial.
Baca juga: Polisi Tangkap Enam Tersangka Eksploitasi Seksual Anak di Bawah Umur di Penjaringan
Para pelaku menjanjikan pekerjaan yang layak di Jakarta dengan penghasilan tinggi.
Anak-anak berusia di bawah umur tersebut pun percaya dan datang ke Jakarta.
Sialnya, mereka malah dijual seharga Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta kepada tersangka yang dipanggil mami berinisial R, atau biasa dipanggil mami A dan mami T.
Siapa sih sosok "Mami" itu?
Mami A merupakan pemilik kafe di kawasan Penjaringan yang dijadikan lokasi penampungan dan penjualan anak di bawah umur.
Dia berperan memaksa anak-anak di bawah umur tersebut untuk berhubungan seksual dengan tamu yang datang.
Mami T juga memiliki peran yang sama.
"Dia (mami T) juga merangkap seperti mucikari," ungkap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Selasa (21/1/2020).
Baca juga: Anak-anak Korban Eksploitasi Seksual di Penjaringan Dipaksa Layani 10 Pria Sehari
Dua mami tersebut memiliki dua karyawan berinisial A dan E yang bertugas mengawasi kegiatan anak-anak.
Harusnya anak-anak itu kabur saja, kan?
Sayangnya, tidak bisa.
Para korban eksploitasi seksual tersebut tidak dapat melarikan diri dari penampungan karena mereka harus membayar denda senilai Rp 1,5 juta.
Padahal, mereka hidup tanpa penghasilan di penampungan.
Mereka dieksploitasi secara seksual dengan bayaran Rp 150.000 setiap kali melayani seorang pria hidung belang.
Nantinya, uang senilai Rp 90.000 diserahkan kepada mami. Sementara itu, uang senilai Rp 60.000 menjadi uang penghasilan korban.
Baca juga: Lokasi Eksploitasi Anak di Penjaringan Diduga Muncul Setelah Kalijodo Dibongkar
Bahkan, mami menerapkan aturan bahwa setiap anak harus melayani 10 pria setiap hari.
Kalau tidak sampai 10 orang?
Kalau setiap anak tak sampai melayani 10 lelaki hidung belang, mereka bisa kena denda Rp 50.000 per hari.
Duh, kenapa ya mereka tidak lapor polisi atau keluarga?
Selama tinggal di penampungan, para korban tidak memiliki ponsel sehingga tidak dapat berhubungan dengan orang-orang di luar tempat penampungan.
Semua ponselnya disita sehingga sama sekali tidak bisa terhubung dengan dunia luar.
Baca juga: Anak-anak Korban Eksploitasi Seksual di Penjaringan Diberi Pil Agar Tak Menstruasi
Mengapa praktik eksploitasi anak bisa berkembang?
Polisi menduga praktik eksploitasi anak di Penjaringan itu bisa meraup keuntungan hingga Rp 2 miliar setiap bulan.
Praktik tersebut bisa berkembang diduga disebabkan pembongkaran praktik prostitusi di Kalijodo pada tahun 2016.
"Analisa kita, begitu Kalijodo diratakan, otomatis orang-orang yang ada di situ (Kalijodo), otomatis menyebar kemana-mana. Beberapa orang yang membentuk koloni kantong-kantong itu lah, salah satu kantongnya itu lah di Rawa Bebek," kata Kasubdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Polda Metro Jaya, AKBP Piter Yanottama.
Praktik eksploitasi seksual anak itu diketahui telah beroperasi selama dua tahun.
Bahkan, lokasi eksploitasi anak di kafe di Rawa Bebek tersebut tergolong kumuh dan tak layak ditempati.
"Mereka menyiapkan tempat yang ala kadarnya, sangat tidak layak, mucikarinya di situ. Kemudian, mereka kalau menerima tamu juga di situ. Tempatnya pun sangat kumuh," ungkap Piter.
Sekarang bagaimana kondisi anak-anak yang dieksploitasi itu?
Dari 10 anak yang ditemukan polisi di lokasi, 8 di antaranya diserahkan ke Kementerian Sosial.
Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Kementerian Sosial RI, Neneng Heryani mengatakan, anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut akan mendapatkan perawatan kesehatan.
Mereka juga akan menjalani pemeriksaan HIV karena sebelumnya mereka dipaksa untuk melayani 10 pria setiap hari.
Selain itu, mereka juga mengonsumsi pil khusus yang diberikan para tersangka untuk mencegah menstruasi.
"Sebab ada indikasi beberapa anak terkena infeksi di bagian kelaminnya," ujar Neneng.
Kemensos juga memberikan pendampingan psikologis kepada korban eksploitasi seksual tersebut. Kemensos pun membuka ruang konseling untuk tempat bercerita para korban.
Keenam tersanga sudah ditangkap kan?
Dalam kasus ini, polisi menetapkan 6 tersangka. Selain dua mami itu, ada juga yang berinisial D alias F, TW, A, dan E.
Setiap tersangka punya peran yang berbeda-beda.
D alias F dan TW yang berperan mencari anak-anak di bawah umur melalui media sosial.
Keduanya lalu menjual anak-anak tersebut kepada mami.
Sementara A dan E merupakan anak buah Mami T dan Mami A yang bekerja sebagai cleaning service di kafe tersebut.
Saat ini, keenam tersangka telah ditahan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.