Warga etnis Tionghoa lalu mulai memberanikan diri melakukan perlawanan. Mereka membekali diri dengan senjata.
Rupanya upaya mereka diendus sang gubernur jenderal. Dengan penuh keangkuhan, Gubernur Adrian Vlocknaier mengeluarkan peraturan pada tanggal 10 Oktober 1740 yang berbunyi “Bunuh dan bantai orang – orang China”.
Pembantaian besar–besaran punterjadi. Anak – anak, remaja, dewasa, tua, laki–laki dan perempuan dibantai prajurit kompeni.
Sekitar 10 ribu orang jadi korban.
Tak cukup sampai di situ, toko–toko mereka juga dijarah.
Pembantaian terbesar dalam peristiwa itu dilakukan di Kali Angke.
Alwi menulis, angke dalam bahasa bahasa Mandarin artinya merah. Jadi, Kali Angke berarti Kali Merah.
Ya, dulu kali itu berwarna merah karena bercampur darah–darah warga Tionghoa korban pembantaian Belanda.
Itu merupakan sejarah pedih. Peristiwa kelam itu kiranya dapat menjadi pendorong bagi warga bangsa, khususnya Jakarta, untuk mempererat hubungan antara etnis, saling menghormati dan berusaha agar tragedi serupa tak terulang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.