"Saya sudah enggak main barongsai lagi. Saya sudah tua," kata dia seraya tertawa.
Selama itu pula, tak sekalipun cemooh mampir ke telinganya, baik yang terlontar dari mulut keluarga, teman, maupun tetangga; mencibir soal batas-batas identitas yang ia terabas.
Abdul pun mantap, keimanannya mustahil mendadak luntur hanya gara-gara ia berbakti di klenteng. Salatnya pun, ia mengaku, tak serta-merta bolong gara-gara kesibukan di Hok Lay Kiong.
Apalagi, peran ini ia emban juga sebagai devosi atas darah orangtua terkasih yang mengalir dalam nadinya.
"Bapak saya Buddha, hanya memang orang Jawa. Imlek ya kadang juga saya rayakan. Kita kan kalau enggak ada orangtua, belum tentu begini. Saya mau ngerayain (Imlek) sekadar mengingat orangtua saja," kata Abdul.
Baca juga: PKB Janji Teruskan Perjuangan Gus Dur terhadap Hak-hak Warga Tionghoa
"Namanya manusia suka membeda-bedakan ya. Tapi kita biasa-biasa saja sih, yang penting kan kita saling menghormati saja kuncinya," imbuhnya dia.
"Ngapain kita mesti repot," ujar Abdul lagi, lagi-lagi mengingatkan saya akan jargon andalan Gus Dur.
Figur Gus Dur telah tiada sedekade silam. Tubuhnya tersimpan di pusara di Jombang, Jawa Timur.
Namun, layaknya jejak-jejak pemikirannya yang tak bisa dibawa kabur oleh maut, banyak hal yang sanggup memulangkan ingatan akan Gus Dur.
Salah satunya: Imlek. Salah satunya lagi, Abdul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.