BEKASI, KOMPAS.com - "Kita mah senang-senang saja. Gitu aja repot," demikian seloroh Abdul (44) ketika diwawancarai Kompas.com perihal pekerjaannya di Klenteng Hok Lay Kiong, Bekasi, Rabu (22/1/2020).
Seloroh Abdul itu muncul ketika wartawan bertanya soal kemungkinan adanya "konflik batin" yang terselip pada hatinya sebagai seorang muslim, lantaran puluhan tahun menyiapkan Imlek di Klenteng Hok Lay Kiong.
Sontak, kelakar Abdul terdengar segendang sepenarian dengan jargon andalan Presiden ke-3 RI Abdurrahman Wahid.
Baca juga: Rayakan Imlek, PKB Kenang Jasa Gus Dur Hapus Diskriminasi
"Gitu aja kok repot!" begitu sang begawan pluralisme senantiasa membikin kita berpikir ulang akan betapa sepelenya suatu masalah yang dianggap rumit.
Suasana wawancara Abdul saat itu memang seirama dengan suasana indahnya keberagaman yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid seumur hidupnya.
Entah kebetulan atau bukan, Abdul dan Abdurrahman Wahid seperti memiliki beragam pertautan, selain kemiripan nama keduanya.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, seorang cucu pendiri Nahdlatul Ulama, seorang kyai, seorang pelintas batas-batas identitas.
Ia bersahabat dengan tokoh lintas agama. Ia membela Ahmadiyah. Ia datang ke gereja. Ia mengakui Konghucu sebagai agama di Republik ini.
Juga, semua tahu, kemeriahan Imlek dewasa ini di Indonesia dibuat mungkin sejak Gus Dur meraih tampuk kepemimpinan sebagai presiden.
Baca juga: Aneka Pasang Mata di Balik Lilin Raksasa
Zaman Soeharto, waktu Imlek tiba, kalangan Tionghoa cuma punya dua pilihan: merayakannya secara diam-diam atau cari masalah dengan aparat.
Lalu, di sini pula lah Abdul, seolah jadi penjelmaan Gus Dur yang hobi melintas batas antarbudaya, bahkan antariman --seorang muslim yang setia mengurus dupa, tak pernah lewat membersihkan patung-patung dewa-dewi, serta menjaga klenteng, rumah ibadah umat Tridharma (Konghucu, Buddhisme, dan Taoisme).
Di Bekasi bukannya tak ada kalangan Tionghoa.
Ketua Yayasan Pancaran Tridharma Bekasi Ronny Hermawan yang menaungi kepengurusan Klenteng Hok Lay Kiong menyatakan, kalangan Tionghoa menetap di Bekasi sejak peristiwa pembantaian di Batavia pada 1740.
Informasi itu ia peroleh dari kisah turun-temurun.
"Kaum pelarian itu menyebar ke beberapa daerah, di antaranya Kota Bekasi, Cikarang, dan Karawang," ujar Ronny sebagaimana diberitakan Harian Kompas, 6 Februari 2019.
Kabar ini diamini penulis buku "Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi" Windoro Adi. Kepada Kompas, ia mengatakan bahwa ketika terjadi pembantaian, sebagian warga China melarikan diri ke pinggir Batavia, utamanya Tangerang.
Baca juga: Kali Angke dan Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa oleh Belanda
Di sana, mereka membuka perkebunan tebu dan persawahan baru hingga meraih kesuksesan secara finansial. Bisa jadi mereka juga menepi ke Bekasi.
Kalangan Tionghoa "pelarian" itu mencari tempat bersembunyi dari kejaran prajurit Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC).
Mereka lantas mulai membangun kehidupan baru di tempat baru. Salah satunya dengan membangun Klenteng Hok Lay Kiong.
Klenteng terbesar seantero Kota Bekasi ini konon paling tua juga se-Bekasi. Jejak usianya diterka dari ukiran "1818" di salah satu kayu altar yang kini hilang entah ke mana.
Dengan usia setua itu, wajar jika tak ada segregasi primordial antara etnis Tionghoa maupun pribumi, antara kalangan muslim dan nonmuslim di sekitar Hok Lay Kiong.
Semuanya berbaur, lahir, dan besar bersama Hok Lay Kiong, berikut segala macam tradisinya.
"Saya asli orang sini, asli Bekasinya. Memang berbaur semuanya, mau Tionghoa atau pribumi, sudah bermasyarakat semua," ujar Bok Liang (50), salah satu petugas Klenteng Hok Lay Kiong kepada Kompas.com, Rabu.
Abdul adalah salah satu orang yang menyaksikan, juga mengalami, segala tradisi etnis Tionghoa di Hok Lay Kiong meskipun secara lahiriah ia beretnis Jawa dan beragama Islam sejak orok.
Toh, semuanya berlangsung sentosa. Abdul, juga warga sekitar Hok Lay Kiong, tak ampuh diserang dikotomi pribumi-nonpribumi, muslim-nonmuslim. Di antara mereka, tak pernah termuat purbasangka, atau tercuat kebencian, sama sekali.
Abdul kini memasuki tahun ke-20 bekerja di Hok Lay Kiong. Jelang dua dekadenya bertugas di sini, ia mengenang awal mula terpincut dengan klenteng dan tradisi Tionghoa, termasuk serba-serbi kepercayaan Tridharma.
"Awal gabung di sini, dulu ada barongsai waktu umur saya masih muda. Saya ikut main barongsai hampir setahun," tutur Abdul.
"Akhirnya saya tertarik buat ikut di klenteng ini, bantu-bantu bebersih. Saya serius ini, saya enggak diajak siapa-siapa. Saya mau sendiri karena waktu itu kebetulan suka sama barongsai," lanjut dia.
Baca juga: Rayakan Imlek, Pemprov DKI Gelar Festival Makanan Tionghoa hingga Pertunjukan Barongsai
Saban hari, Abdul mengerahkan apa pun yang bisa ia lakukan buat klenteng. Bebersih area ibadah adalah makanan sehari-hari yang ia santap sejak belia hingga hari ini.
Kemudian, mulai 2003, Abdul diamanatkan peran krusial sebagai pencatat identitas ratusan lilin-lilin raksasa yang berdatangan ke Hok Lay Kiong jelang Imlek.
"Saya sudah enggak main barongsai lagi. Saya sudah tua," kata dia seraya tertawa.
Selama itu pula, tak sekalipun cemooh mampir ke telinganya, baik yang terlontar dari mulut keluarga, teman, maupun tetangga; mencibir soal batas-batas identitas yang ia terabas.
Abdul pun mantap, keimanannya mustahil mendadak luntur hanya gara-gara ia berbakti di klenteng. Salatnya pun, ia mengaku, tak serta-merta bolong gara-gara kesibukan di Hok Lay Kiong.
Apalagi, peran ini ia emban juga sebagai devosi atas darah orangtua terkasih yang mengalir dalam nadinya.
"Bapak saya Buddha, hanya memang orang Jawa. Imlek ya kadang juga saya rayakan. Kita kan kalau enggak ada orangtua, belum tentu begini. Saya mau ngerayain (Imlek) sekadar mengingat orangtua saja," kata Abdul.
Baca juga: PKB Janji Teruskan Perjuangan Gus Dur terhadap Hak-hak Warga Tionghoa
"Namanya manusia suka membeda-bedakan ya. Tapi kita biasa-biasa saja sih, yang penting kan kita saling menghormati saja kuncinya," imbuhnya dia.
"Ngapain kita mesti repot," ujar Abdul lagi, lagi-lagi mengingatkan saya akan jargon andalan Gus Dur.
Figur Gus Dur telah tiada sedekade silam. Tubuhnya tersimpan di pusara di Jombang, Jawa Timur.
Namun, layaknya jejak-jejak pemikirannya yang tak bisa dibawa kabur oleh maut, banyak hal yang sanggup memulangkan ingatan akan Gus Dur.
Salah satunya: Imlek. Salah satunya lagi, Abdul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.