BEKASI, KOMPAS.com - Bangsa China dikenal sebagai bangsa dengan daya jelajah yang luas. Ekspansi diaspora China membuat bangsa tersebut seakan tak mengenal matahari tenggelam.
Kawasan pecinan tersebar di aneka kota, di pelbagai negara, nyaris di semua penjuru dunia. "Chinatown", demikian peradaban Barat menyebutnya.
Daya jelajah bangsa China yang luar biasa bahkan membuat mereka menjelajah hingga suatu wilayah yang sempat dicibir sebagai lokasi paling jauh di muka bumi: Bekasi.
Lantas, bagaimana bisa etnis Tionghoa bermukim di Bumi Patriot?
Ada sederet hipotesis buat menjelaskannya. Ronny Hermawan, Ketua Yayasan Pancaran Tridharma Bekasi, menyebutkan, keberadaan etnis Tionghoa memang rata-rata tersebar di kawasan pesisir, utamanya pelabuhan.
Baca juga: Bukan Gong Xi Fa Cai, Begini Ucapan Tahun Baru Imlek Tempo Dulu
Wilayah Bekasi dapat dibilang diapit oleh dua kota pelabuhan ternama zaman dulu, yaitu Cirebon dan Jakarta (dulu Jayakarta, Batavia).
Era Kolonial, Pemerintah Hindia Belanda rajin mengimpor buruh buat aneka proyek yang mereka bangun di Jawa dan Sumatera.
Mereka memboyong buruh-buruh dari China buat bekerja di tambang timah di Pulau Bangka, misalnya.
"Sekitar tahun 1700-an, Batavia itu sudah jadi kota perdagangan. Di sana, VOC sudah punya banyak buruh pelabuhan dari suku Tionghoa," kata Ronny, Kamis (23/1/2020).
Jumlah etnis Tionghoa di Bekasi saat itu belum begitu banyak. Hanya beberapa gelintir, ujar Ronny.
Keadaan berubah pada 1740. Ronny yang mengaku etnis Tionghoa asli Bekasi itu bilang, ada intrik yang berujung konflik antara buruh-buruh Tionghoa dengan pejabat VOC.
Kemudian, menurut Windoro Adi, penulis buku "Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi", pasukan VOC pun memburu para buruh Tionghoa yang memberontak.
Para buruh pun "lari" kocar-kacir; sebelum berkembang menjadi eksodus etnis Tionghoa dari Batavia ke wilayah-wilayah satelit: utamanya Tangerang, selain juga Bogor, Bekasi, hingga Karawang.
"Di sana, mereka membuka perkebunan tebu dan persawahan baru hingga meraih kesuksesan secara finansial. Bisa jadi mereka juga menepi ke Bekasi," ujar Windoro Adi sebagaimana dilaporkan harian Kompas, 6 Februari 2019.
Windoro bilang, kalangan Tionghoa yang kemudian dijuluki sebagai "China Udik" ini mulai membangun kehidupan baru di tempat baru.
Jadilah kawasan pecinan, yang rata-rata ditandai dengan berdirinya kelenteng.
Di Kota Bekasi sendiri, kawasan "Pasar Proyek" acap kali dianggap sebagai pecinan Bekasi. Anggapan ini tak sepenuhnya keliru, meski sejarawan Bekasi, Ali Anwar, mengaku tak setuju.
Baca juga: Menengok Gereja Santa Maria de Fatima di Petak Sembilan yang Menyerupai Kelenteng
Berdirinya Kelenteng Hok Lay Kiong, kelenteng paling besar sekaligus paling tua seantero Kota Bekasi di sekitar kawasan Pasar Proyek, jadi bukti bahwa kawasan di tepi Kali Bekasi itu memang banyak didiami kalangan Tionghoa.
"Mereka bergabung dengan masyarakat Bekasi yang kebanyakan berkonsentrasi di Pasar Bekasi atau yang sekarang disebut Pasar Proyek. Dulu, di situ bukan hanya orang Tionghoa, itu juga Arab ada, Sunda, Jawa sudah ada sebelumnya," jelas Ali Anwar, Jumat (24/1/2020).
Wilayah Pasar Proyek jadi sasaran karena ia merupakan kawasan pasar paling aktif seantero Bekasi kala itu.
Kedekatannya dengan sungai menjadi kunci. Selain karena peradaban manusia hampir selalu berkembang di tepi sungai, pada Zaman Kolonial, sungai juga merupakan sarana transportasi utama, dengan perahu sebagai moda andalan.
Baca juga: Saat Imlek, 250 Polisi Dikerahkan ke Kelenteng dan Wihara di Bekasi
Sungai menjelma urat nadi kehidupan niaga. Berbagai jenis komoditas, utamanya hasil bumi, diperdagangkan di tepi sungai.
Dengan berbagai keadaan tadi, tentu Pasar Proyek di tepi Kali Bekasi jadi lokasi strategis bagi kalangan Tionghoa bermukim.
"Apalagi, mereka (kalangan Tionghoa) kan sebagian besar memang pedagang, petani. Pasar proyek dulunya pasar terbesar di Bekasi," kata Ali.
Akan tetapi, di Bekasi, kalangan Tionghoa bukan hanya menetap di area yang kini masuk sebagai wilayah administratif Kota Bekasi.
Ali Anwar menyebut, mereka juga mendiami beberapa lokasi di wilayah Kabupaten Bekasi, misalnya di Babelan, Tambun, Pebayuran, sampai Cibarusah.
Ekspansi kalangan Tionghoa itu terus merangkak naik jumlahnya, sejak eksodus tahun 1740 dari Batavia, lalu ditambah dengan meluasnya perkebunan, di mana kalangan Tionghoa jadi salah satu pemain utama.
Kawin campur antara kalangan Tionghoa dengan kalangan lokal pun bukan tak pernah terjadi.
"Pada abad-abad ke-18, ada sistem tanah partikelir. Tanah negara disewakan bagi pengusaha. Maka, datanglah investor dari Eropa, Arab, dan China ke Bekasi. Mereka usahanya perkebunan: karet, tebu, padi, kelapa," ia menjelaskan.
"Pelan-pelan, mereka (kalangan Tionghoa) ikut menyebar ke seluruh wilayah Bekasi. Mulai kelihatan itu pada awal abad 19, tahun 1800-an," tambah Ali.
Baca juga: 390 Personel Gabungan Amankan Wihara Saat Perayaan Imlek di Tangsel
Kini, tak seperti kalangan Tionghoa di Tangerang yang punya sebutan sendiri sebagai China Benteng, kalangan Tionghoa di Bekasi belum punya julukan sendiri.
Namun, lebih dari itu, berabad-abad lamanya bangunan peradaban Bekasi disusun oleh kebinekaan semacam itu. Sulit menafikan jejak kalangan Tionghoa yang sudah telanjur membekas di Bumi Patriot ini.
"Orang China Bekasi kompak sampai sekarang dan dia merasa bukan orang Tionghoa," ujar Ronny Hermawan.
"Orang China Bekasi dikirim ke China, dia akan tanya, China itu apa, bahasa China juga enggak bisa. Keluarganya pun semua di sini. Dia lebih bangga mengatakan dia orang Bekasi," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.