JAKARTA, KOMPAS.com - Roti keras warna coklat bertabur wijen. Itulah deskripsi untuk roti gambang legendaris buatan toko Tan Ek Tjoen di Jakarta.
Roti itu pernah masuk dalam daftar 50 Roti Terbaik Dunia versi CNN.
Zeffry Alkatiri dalam bukunya Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai menulis bahwa roti gambang hadir di Batavia pada zaman penjajahan Belanda. Warga Belanda di Batavia saat itu tidak bisa sarapan pagi tanpa roti.
Baca juga: Kisah Tentang Roti Gambang, Kenangan Menyantap Roti Terbaik Dunia
Roti gambang itu dikenal juga dengan nama roti ganjel rel. Orang Betawi menyebutnya sebagai roti gambang. Namun orang Semarang di Jawa Tengah menamainya roti ganjel rel.
Di sebut roti gambang karena bentuknya rotinya dianggap Belanda mirip gambang, alat musik tradisional Jakarta yaitu gambang kromong. Demikian pula dengan penamaan roti ganjel rel, bentuk roti itu memang mirip ganjelan rel kereta.
Menurut Budayawan Betawi Yahya Adi Saputra, pada zaman kolonial, orang Belanda membuat perusahaan roti di Batavia. Bentuk gambang kromong menginspirasi mereka dalam membuat roti.
“Jadi dulu itu perusahaan roti Belanda di Batavia, mereka memilih bentuk roti yang seperti bilah-bilah pada gambang kromong," kata Yahya kepada Kompas.com pada 18 Oktober 2019.
Baca juga: Roti Gambang Berasal dari Mana? Ini Asal Usulnya
Pemilik Toko Oen Semarang, Jenny Megaradjasa, membenarkan bahwa roti gambang adalah roti Belanda. Ia mengatakan, roti gambang atau roti ganjel rel itu berasal dari roti Belanda yang dinamakan ontbijtkoek.
Seiring minggatnya orang-orang Belanda dari Indonesia, pengusaha-pengusaha China mulai melanjutkan usaha roti. Mereka mempopulerkan roti itu.
Roti gambang pada era Indonesia merdeka mengalami masa kejayaan tahun 1980 hingga akhir 1990-an. Masa itu, roti gambang dicintai berbagai kalangan, mulai dari anak kecil hingga orang tua.
Saat itu, roti gambang Tan Ek Tjoen tidak dibungkus plastik untuk dibawa pulang, tetapi dibungkus dengan kertas atau keranjang dengan anyaman bambu.
Selain basisnya di Cikini, Jakarta Pusat, toko roti Tan Ek Tjoen juga memasarkan roti gambang dengan gerobak-gerobak roti diberbagai wilayah Jakarta.
Tapi kemudian gerobak-gerobak roti itu tergerus oleh perusahaan roti modern yang menggunakan armada sepeda motor dan pengeras suara elektronik.
Baca juga: Bukan Asli Betawi, Lu, Gue, dan Cincong Ternyata Terpengaruh Kultur Tionghoa
Tan Ek Tjoen juga harus bersaing dengan toko roti modern seperti Holland Bakery atau Bread Talk yang tokonya tersebar hampir di setiap sudut Jakarta.
Namun roti gambang Tan Ek Tjoen kini masih berjuang untuk tetap "hidup" di Cikini.
Zeffry Alkatiri menulis dalam bukunya bahwa es campur yang berisi kolang-kaling, kelapa muda, cendol, potongan buah alpukat, gula, dan santan itu dulunya bernama es shanghai.
Es shangai dulu pertama populer dijual di rumah-rumah makan China di belakang Pasar Baru.
Pemilik rumah makan menamakan es campur tersebut dengan nama es shanghai sesuai dengan latar belakang dirinya yang berasal dari Shanghai, China.
Setelah cukup populer, rumah makan lain kemudian mengadopsi es itiu dengan berbagai nama. Mulai dari es fujiyama karena dianggap mirip Gunung Fuji di Jepang, hingga es appolo karena sedang tren peluncuran pesawat luar angkasa Appolo.
Baca juga: Ini Bedanya Es Teler dengan Es Campur
Perubahan nama itu terus terjadi hingga akhirnya terpaten dengan nama es teler.
Tahun 1970-an penjual es teler yang cukup terkenal ada di Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat. Ia berdagang mengemper di trotoar.
Pada masa jayanya, orang beramai-ramai antre untuk membelinya, khususnya anak muda.
Keberhasilan itu kemudian di tiru oleh pedagang lain baik restoran-restoran besar maupun pedagang kaki lima hingga saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.