Tradisi itu diisi dengan membagi-bagikan sembako sebanyak 1000 kantong kepada warga yang kurang mampu.
Kelenteng itu juga selalu mengadakan acara buka puasa bersama setiap tahun. Namun, untuk tahun ini, acara buka puasa bersama diganti dengan membagi-bagikan takjil kepada masyarakat sekitar sebagai bentuk menyambut Ramadhan.
"Selain bagi-bagi takjil, saat malam Imlek kami juga open house dengan memanggil tukang bubur, tukang mie bakso, atau tukang soto. Lalu kami bagikan ke warga sekitar sini," ujar Chandra.
Kelenteng yang didirikan tahun 1703 itu sudah menerapkan toleransi sejak lama.
Kelenteng itu sesungguhnya tak berbeda dengan kelenteng pada umumnya. Namun, jika ditelusuri, di kelenteng itu ada ruangan khusus, berukurun kecil dan bercat hijau yang terletak bagian belakang kelenteng.
Ruangan itu ruang shalat. Ruangan dibangun tahu 2007 dan sengaja dibuat untuk para peziarah yang datang ke petilasan leluhur keluarga Kerajaan Pajajaran, yaitu Eyang Sakee dan Eyang Jayaningrat serta makam Embah Imam. Ketiganya merupakan tokoh penyebar agama Islam pada masa Kerajaan Pajajaran.
Di dalam ruangan tersebut terdapat dua buah batu besar yang dipercaya sebagai tempat petilasan Eyang Sakee dan Eyang Jayaningrat. Dalam ruangan itu juga terdapat alat shalat, Alquran serta sejadah yang menghadap ke kiblat.
"Kelenteng ini pernah menjadi tempat peristirahatan Raja Siliwangi dan tempat berkumpulnya para penyebar agama Islam sejak zaman kerajaan Pajajaran," kata Abraham Halim, pemerhati sejarah Kampung Pulo Geulis.
Bram menegaskan, prinsip yang diusung kelenteng itu dan warga Pulo Geulis merupakan sesuatu yang indah, yang menampilkan kebersamaan dalam perbedaan.
"Bersatu di sini bukan berarti campur aduk. Ibarat air dan minyak, bisa ada dalam satu wadah," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.