JAKARTA, KOMPAS.com - Tentangan publik dan sikap berkeberatan pemerintah pusat terkait revitalisasi Monumen Nasional, Jakarta Pusat, agaknya tak digubris oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Para pekerja tetap melakukan aktivitasnya dan alat berat terus bergerak mengubah wajah sisi selatan kawasan ikonik tersebut.
Pohon yang rindang kini mulai digantikan beton yang dicor. Rasa gersang dan panas semakin menyentuh kulit kala berdiri di kawasan revitalisasi.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto berujar bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak bisa asal menghentikan proyek itu, meskipun belum mengantongi izin dari Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.
Pemprov DKI Jakarta merasa terikat kontrak dengan kontraktor pemenang tender, PT Bahana Prima Nusantara.
Baca juga: Sidak ke Lokasi Revitalisasi Monas, Ketua DPRD DKI Minta Proyek Dihentikan
"Kan ini perjanjian. Kalau (ada perjanjian dengan) kontraktor, kan kami enggak bisa (memutuskan) sepihak," ujar Heru di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (27/1/2020).
Dinas Cipta Karya juga belum menerima arahan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait kelanjutan revitalisasi kawasan Monas.
Pihaknya masih menunggu arahan Anies soal nasib revitalisasi Monas, dihentikan sementara atau tetap berlanjut.
"Kami mau koordinasi sama pimpinan dulu," kata Heru.
Menurut Heru, Pemprov DKI sudah mengajukan permohonan izin revitalisasi Monas kepada Komisi Pengarah pada Jumat pekan lalu.
Tetap berlanjutnya proyek ini pun membuat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi geram.
Ia lalu melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kawasan tersebut pada Senin kemarin.
Di lokasi, Pras, panggilan akrab Prasetio, mempertanyakan ke mana pohon-pohon dipindahkan.
"Itu pohonnya diapain?" tanya Pras di lokasi.
Baca juga: Ketua DPRD DKI Geram Sisi Selatan Monas Sudah Dibeton
"Ada yang dipindahkan, ada yang ditebang," jawab Kepala Seksi Pelayanan Informasi UPK Monas Irfal Guci.
Namun, Pras tak percaya jika semua pohon dipindahkan. Ia meyakini bahwa sebagian pohon terutama yang berukuran besar telah ditebang.
"Tapi pohon besar itu tidak mungkin dipindahkan, pasti ditebang," kata dia.
Mengenai masalah pohon-pohon yang ditebang, Irfal berkelit bahwa di wilayah sisi selatan atau yang sebagian adalah IRTI memang tidak tumbuh banyak pohon.
"Ini sebagian IRTI, jadi sebenarnya tidak ada pohon juga," ucap Irfal
Pras juga bingung karena hingga kini revitalisasi masih terus berjalan meski sempat diminta diberhentikan oleh Komisi D DPRD DKI.
"Ini enggak diberhentikan (revitalisasinya)? Tolong dihentikan ya ini, saya Ketua DPRD," lanjut Pras.
Selain gundulnya pohon-pohon, Pras juga kesal lantaran sisi selatan itu sudah dibeton. Padahal, menurut Prasetio, area itu seharusnya menjadi wilayah resapan.
"Yang saya dengar ini buat serapan masih bisa, tapi ini beton. Kenapa dibeton? Ini kan buat serapan air dan ini jalur hijau," kata Ketua DPRD DKI dua periode ini.
Irfal menjawab bahwa pembangunan beton tersebut sudah sesuai desain perencanaan Monas.
"Jadi kalau perkara ini sudah didesain oleh perencanaan. Desainnya itu disayembarakan. Karena itu visual Citata buat ide-idenya. Jadi mungkin seperti itu beton," tutur Irfal.
Sementara mengenai wilayah resapan, ia mengaku kurang paham.
"Saya juga kurang paham. Ini judulnya pun plaza upacara," sambungnya.
Pras lalu meminta agar Pemprov DKI Jakarta tidak secara semena-mena melakukan revitalisasi tanpa ada komunikasi dengan pemerintah pusat, terutama Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Sesuai Keppres Nomor 25 Tahun 1995, segala perubahan di Monas harus mendapatkan izin Kemensetneg.
Apalagi, posisi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah sebagai Sekretaris di Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.
"Ini ada Keppres-nya Pak Soeharto juga, memang Pak Gub sebagai sekretaris pengarah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Ini bukan miliki DKI sendiri loh, ini milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini enggak ada koordinasinya," ujar Pras.
Baca juga: Ketua DPRD DKI: Monas Bukan Milik Jakarta Sendiri, tapi Enggak Ada Koordinasinya
Pras mengira bahwa awalnya konsep revitalisasi hanyalah untuk memperbaiki dan menata kawasan Monas menjadi lebih bagus, tetapi tanpa menebang pohon.
Ia menyesali adanya penebangan pohon karena semakin membuat gersang dan berkurangnya lahan hijau.
"Awalnya konsepnya memperbaiki, membuat bagus, menata. Ini kan bukan menata, pohon dipotong-potong lalu ada yang dipindahkan juga. Kalau dipindahkan masih hidup ya enggak masalah. Dan pohon ini juga sudah puluhan tahun ditanam di sini," ujar dia.
Ia kemudian mengingatkan bahwa Monas pun rawan banjir, apalagi kalau tidak ada sumber resapan di sisi selatan tersebut.
"Jadi jangan main salah-salahan, ini kita sedang kondisi ke depan sampai Februari itu banjir. Bagaimana serapan kita? Sekarang Monas sudah banjir," tutup Pras.
Tak hanya Pras yang bereaksi. Pihak Istana Kepresidenan pun kini mulai turun tangan.
Istana Kepresidenan akan menyurati Anies dan jajarannya untuk meminta penghentian sementara revitalisasi kawasan Monas.
"Karena itu jelas ada prosedur yang belum dilalui, ya kita minta untuk distop dulu," kata Menteri Sekretaris Negara yang juga Ketua Komisi Pengarah Pratikno.
"Kita surati saja," sambungnya.
Baca juga: Istana Surati Pemprov DKI Minta Revitalisasi Monas Dihentikan
Pratikno menegaskan, aturan era Soeharto itu jelas mengatur bahwa Pemprov DKI harus meminta dan mendapat persetujuan dari Komisi Pengarah jika hendak melakukan pembangunan di kawasan Medan Merdeka.
"Jadi, secara prosedural memang kami minta kepada Pemprov DKI untuk meminta persetujuan dulu kepada Komisi Pengarah, karena itu aturan yang masih berlaku dan tentu saja harus ditaati," kata dia.
Menurut Pratikno, setelah surat permintaan izin diterima, Komisi Pengarah akan segera menggelar rapat untuk mengambil keputusan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.