Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Pemulangan Anak-anak WNI Eks ISIS...

Kompas.com - 18/02/2020, 06:38 WIB
Vitorio Mantalean,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi


DEPOK, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk menutup pintu pemulangan 689 WNI eks ISIS.

Menkopolhukam Mahfud MD menyebut mereka sebagai foreign terrorist fighter (FTF). Berangkat dari cap tersebut, Mahfud berujar bahwa pemerintah tak akan memulangkan teroris.

Keputusan itu juga dipertegas Presiden RI Joko Widodo, bahwa ia enggan 689 WNI yang kini tersebar di beberapa negara di Timur Tengah kembali ke Tanah Air.

Baca juga: Pemerintah Akan Pulangkan Anak-anak Eks ISIS, Yenny Wahid: Sudah Siap Tampung Mereka?

"Pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Jokowi bilang, langkah ini berarti pemerintah lebih mengutamakan keamanan 260 juta rakyat Indonesia di Tanah Air.

"Saya kira kemarin sudah disampaikan bahwa pemerintah punya tanggung jawab keamanan terhadap 260 juta penduduk Indonesia, itu yang kita utamakan,"ujar dia.

Nasib anak-anak eks ISIS

Menilik langkah pemerintah Indonesia, sebagian kalangan pun mempertanyakan nasib berbagai anak-anak dan perempuan dalam 689 WNI eks ISIS itu.

Sebab, mereka dinilai bukan kombatan yang ikut angkat senjata ke Irak dan Suriah, melainkan sekadar diboyong oleh suami dan ayah mereka.

Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid yang kerap bicara soal isu-isu radikalisme agama dan kemanusiaan pun buka suara soal polemik ini.

"Memang masalahnya, semua negara kesulitan menentukan harus diapakan warga negaranya yang kemudian pergi dengan ISIS. Banyak negara juga bingung ketika menentukan kebijakan," jelas Yenny kepada wartawan di Balai Poernomo Prawiro, FISIP Universitas Indonesia, Senin (17/2/2020) siang.

Dilema tersebut semakin membingungkan jika pokok persoalannya ialah pemulangan anak-anak WNI eks ISIS.

Baca juga: Yenny Wahid Ungkap Dilema Pemulangan Anak-anak Eks Kombatan ISIS

Dari sudut pandang kemanusiaan, Yenny menegaskan bahwa negara harus melindungi anak-anak.

Paradigma ini berlaku luas di kancah internasional, termasuk Indonesia.

"Indonesia karena sudah meratifikasi konvensi tentang hak anak-anak, memang di satu sisi negara harus memberikan perlindungan kepada anak-anak," jelas Yenny.

Dengan paradigma ini, negara perlu memandang anak-anak eks kombatan ISIS ini sebagai korban.

Pasalnya, anak-anak ini tidak sedang memilih sendiri jalan hidupnya, melainkan diboyong oleh orangtua mereka yang ikut tempur di Irak dan Suriah.

Paradigma ini menjadi dasar argumen untuk mendesak agar perlakuan negara terhadap anak-anak mesti dibedakan dengan perlakuan negara terhadap orang dewasa.

"Orang dewasa bisa memilih sendiri, mereka mengerti. Asumsinya mereka mengerti haknya. Kewajibannya seperti apa, mereka mengerti. Ketika dilanggar, konsekuensinya mereka juga mengerti," jelas putri kedua Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.

"Tapi kalau anak-anak, mereka tidak mengerti (hak, kewajiban, dan konsekuensinya)," ia menambahkan.

Belum ada model terapi deradikalisasi anak-anak eks ISIS

Di satu sisi, negara memang harus melindungi anak-anak sebagai kalangan yang menjadi korban atas pilihan orangtuanya bergabung dengan ISIS.

Namun, di sisi lain, pemulangan mereka bukan sekedar mengembalikan tubuh mereka kembali ke Tanah Air.

Anak-anak itu juga perlu dikembalikan kondisi mentalnya karena sekian lama, menurut Yenny, telah terpapar ide-ide kekerasan selama di Irak-Suriah.

"Bagaimana pun, mereka sudah pernah terpapar oleh kekerasan. Jadi, ini (ide kekerasan) pasti sudah ada di kepalanya, terekam dalam alam bawah sadarnya," ujar Yenny.

"Kalau ingin mengembalikan mereka menjadi normal cara berpikirnya, harus lewat terapi yang panjang sekali. Ada banyak sekali sumber daya yang harus kita alokasikan untuk kemudian membuat mereka normal seperti anak-anak lain. Pertanyaannya kita punya enggak?" kata Yenny.

Baca juga: Pemerintah Diminta Matangkan Program Deradikalisasi Sebelum Pulangkan Anak-anak Eks ISIS

Dilihat kasus per kasus

ISIS merupakan fenomena baru di dunia. Oleh karenanya, belum pernah ada suatu model terapi anak-anak kombatan eks ISIS yang dapat dirujuk secara global.

Semua negara masih berupaya merumuskan fasilitas, metode, dan sumber daya guna melakukan deradikalisasi terhadap anak-anak tersebut.

Pemerintah Indonesia sendiri masih membuka kemungkinan pendataan (profiling) lebih detail, karena tak seluruh 689 WNI itu kombatan yang angkat senjata untuk ISIS.

Itu berarti, masih ada peluang, walaupun amat kecil, bagi WNI eks ISIS yang tak terlibat aksi teror untuk pulang ke pelukan Ibu Pertiwi.

"Mungkin, kita (Indonesia) perlu untuk menciptakan model semacam itu. Justru barangkali kita bisa jadi pionir," kata Yenny.

"Ini tantangan yang berat sekali. Kita harus menciptakan fasilitas, memberikan sumber daya. Metode (deradikalisasi) apa yang dipakai, belum ada. Kemudian orang mengatakan, bahwa sudah, dikasih saja anak-anak itu ke panti asuhan. Tidak bisa," lanjut dia.

Yenny berpandangan, jalan tengah bagi dilema ini ialah mendalami satu per satu anak-anak tersebut.

Menurut dia, pemerintah mesti teliti dan tak bisa menggeneralisasi langkah pemulangan mereka.

"Rekomendasi saya kasuistis saja. Hanya berlaku untuk anak-anak yang memang dilihat masih bisa mengalami proses deradikalisasi," kata Yenny yang juga masuk jajaran Komisaris Garuda Indonesia itu.

"Karena kalau sudah terpapar trauma, sangat sulit untuk dipulihkan tanpa menjalani terapi yang intensif. Jadi perlu dilihat dulu kasus per kasus," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kebakaran Hanguskan Beberapa Rumah di Jalan KS Tubun Slipi

Kebakaran Hanguskan Beberapa Rumah di Jalan KS Tubun Slipi

Megapolitan
Polda Metro Kerahkan 197 Personel Amankan Paskah di Gereja Katedral Jakarta dan GPIB Imanuel

Polda Metro Kerahkan 197 Personel Amankan Paskah di Gereja Katedral Jakarta dan GPIB Imanuel

Megapolitan
Polisi Bakal Periksa Pemilik Truk dan Orangtua Sopir yang Sebabkan Kecelakaan di GT Halim

Polisi Bakal Periksa Pemilik Truk dan Orangtua Sopir yang Sebabkan Kecelakaan di GT Halim

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Tangerang Selatan, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Tangerang Selatan, 29 Maret 2024

Megapolitan
Baznas RI Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, 102 Sekolah Ambil Bagian

Baznas RI Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, 102 Sekolah Ambil Bagian

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Tangerang, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Tangerang, 29 Maret 2024

Megapolitan
Pemprov DKI Siapkan Hunian untuk Polisi dan PNS Polri, Lokasinya di Pondok Kelapa

Pemprov DKI Siapkan Hunian untuk Polisi dan PNS Polri, Lokasinya di Pondok Kelapa

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Bogor, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Bogor, 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Bekasi, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Bekasi, 29 Maret 2024

Megapolitan
Beli Mobil Bekas Taksi di Bekasi, Warga Cibitung Kena Tipu Rp 40 Juta

Beli Mobil Bekas Taksi di Bekasi, Warga Cibitung Kena Tipu Rp 40 Juta

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Depok, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Depok, 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Imsak dan Buka Puasa di DKI Jakarta, 29 Maret 2024

Jadwal Imsak dan Buka Puasa di DKI Jakarta, 29 Maret 2024

Megapolitan
Minta Usut Tuntas Kasus Kematian Akseyna, BEM UI Akan Bersurat ke Rektor UI dan Polres Depok

Minta Usut Tuntas Kasus Kematian Akseyna, BEM UI Akan Bersurat ke Rektor UI dan Polres Depok

Megapolitan
Tanda Duka Cita, Mahasiswa UI Peringati 9 Tahun Kematian Akseyna

Tanda Duka Cita, Mahasiswa UI Peringati 9 Tahun Kematian Akseyna

Megapolitan
500 Siswa SMA Ikut Pesantren Kilat di Kapal Perang KRI Semarang

500 Siswa SMA Ikut Pesantren Kilat di Kapal Perang KRI Semarang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com