Pemprov DKI juga sudah berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mengeruk 13 sungai di Jakarta.
Sebab, 13 sungai itu berada di bawah wewenang BBWSCC.
"Kemarin oke sekali kok Kepala BBWSCC-nya. 'Ya sudah kalau ada pendangkalan suatu tempat dari 13 sungai itu, DKI bikin surat, lalu kami izinkan (pengerukan) itu, enggak ada masalah'," ucap Saefullah menirukan pernyataan Kepala BBWSCC Bambang Hidayah.
Baca juga: Ketika Nurohimah Harus Kuras Tabungan Gara-gara Warung Terendam Banjir 5 Kali....
Saefullah menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta memiliki manajemen yang baik untuk mengatasi banjir.
Pemprov DKI tidak pernah menetapkan status darurat banjir di Jakarta.
"Yang perlu diingat, kami tidak pernah menetapkan keadaan darurat. Artinya apa? Kami bisa mengelola dan manajemen barokah yang dikeluarkan melalui hujan ini kami manage dengan baik, enggak perlu keadaan darurat, semua kami kerjakan," ujar dia.
Berbeda dengan pernyataan Sekretaris Daerah DKI Jakarta, nyatanya banjir bukanlah sebuah kenikmatan.
Bagi banyak warga yang terdampak banjir, banjir telah menghabiskan harta bendar mereka. Belum lagi dampak banjir setelahnya.
Misalnya, tak bisa bekerja karena akses terputus, tak bisa bekerja karena warung mereka terendam, harus izin karena harus membereskan rumah berkali-kali.
Contoh nyatanya coba temui Ani, seorang warga di Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Kawasan rumahnya selalu menjadi langganan banjir.
Baca juga: Menderitanya Warga Jakarta, Hilang Pekerjaan karena Cipinang Melayu Banjir 7 Kali
Kepada Kompas.com, Ani bercerita sudah tujuh kali dilanda banjir sampai membuatnya lelah secara batin.
"Rumah kalau dibilang hancur ya hancur. Semua barang elektronik enggak ada yang selamat. Mesin jahit buat saya kerja rusak, sudah enggak bisa dipakai sama sekali," ujar Ani.
Ani berprofesi sebagai tukang jahit rumahan. Dan, itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menafkahi dirinya dan keponakannya.
"Kalau dibilang pendapatan saya turun, ya bukan turun lagi. Memang sudah enggak kerja saya dari awal tahun 2020 ini. Saya belum bisa beli mesin jahitnya lagi," ujar Ani.
Baca juga: Demi Cipinang Melayu Tak Lagi Banjir, Warga Pinggir Kali Rela Digusur Asalkan...
Tak hanya Ani, ada pula Sriyani yang suaminya jarang bekerja karena banjir sudah merendam Cipinang Melayu.
"Suami saya itu kan ojol ya. Kalau banjir, ya enggak bisa ke mana-mana. Hari ini rumah saya emang sudah surut, tapi karena suami saya yang bersihin rumah dari lumpur semua, dia capek. Jadi ya hari ini belum bisa ngojol lagi," ujar Sriyani.
Dia menjelaskan bahwa kerugian yang ia dan keluarganya dapat tidak bisa diingat berapa besarannya.
"Saking banyaknya barang yang sudah kebuang karena rusak ya, terus suami saya jadi jarang kerja, ya lumayan susah jadinya buat sembako sehari-hari. Apalagi saya di rumah ada anak dua masih usia SD semua, sama mertua dua," ujar Sriyani.
Baca juga: Tiga Bangunan di Cipinang Melayu Roboh Diterjang Banjir
Dia juga mengatakan, semenjak banjir merendam rumahnya setinggi 3 meter, semua barang di rumahnya dibuang.
"Macam TV, kulkas, kompor kasur, pada dibuangin. Orang sudah enggak bisa dipakai semua. Kalau lihat ke rumah saya, sekarang isinya sudah kosong," ujar Sriyani.
Sriyani bercerita bahwa sekarang ia dan keluarganya hanya tidur dengan tikar.
"Kalau beli kasur lagi sama alat-alat lain juga nanggung, takut banjir lagi karena masih musim hujan. Mungkin nanti kalau udah musim panas lagi," ujar Sriyani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.