Butuh biaya hingga Rp 575 juta dan waktu hingga satu tahun tiga bulan untuk membangun rumah impiannya itu. Menurut Bagas, untuk ukuran rumah dua setengah lantai di Kelapa Gading, angka itu terbilang murah.
Bahkan, jika tidak terjadi kendala di tengah pembangunan ia hanya perlu mengeluarkan uang Rp 450 juta.
Akan tetapi yang terpenting ialah dampak setelah rumah itu dibangun. Setelah selesai sekitar tahun 2016, banjir tak pernah lagi masuk ke dalam rumah Bagas.
Ia tak perlu lagi khawatir koleksi bukunya terendam banjir. Semua barang yang akan rusak ketika basah seperti kasur dan alat-alat elektronik juga aman ditempatnya.
Bahkan, ia tak perlu lagi membuang tenaga untuk mengangkat barang dan bersih-bersih lumpur tatkala banjir tiba.
Baca juga: Ratusan Mahasiswa Universitas Gunadarma Demo Kampusnya Sendiri, Tuntut Perbaikan Sistem
"Ya paling cuma perlu nyapu-nyapu halaman pakai sapu lidi," kata Bagas.
Kompas.com menghampiri rumah Bagas pada hari Minggu (23/2/2020) malam di mana waktu itu banjir menggenangi kawasan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading.
Bahkan menurut Bagas, saat itu adalah banjir terparah yang pernah terjadi.
"Kalau banjir awal tahun itu sebetis (40 cm), nah kalau yang sekarang ini sebetis (60 cm) ini juga udah lebih 24 jam belum surut," ujar Bagas saat itu.
Saking parahnya banjir, akses menuju rumah Bagas terbilang lumpuh. Saya harus memarkirkan kendaraan sekitar 2 km dari kediaman Bagas karena khawatir mogok di tengah jalan.
Saat itu perumahan warga terasa sepi. Sejumlah rumah yang tak bertingkat sepertinya ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi karena terendam banjir.
Warga yang bertahan sesekali berlalu lalang untuk membeli keperluan perut.
Dari jendela rumah mereka terlihat barang ditumpuk-tumpuk agar masih bisa digunakan setelah banjir surut. Tak terbayang kerugian serta lelah mereka saat bencana itu datang.