DEPOK, KOMPAS.com - Manajemen Universitas Gunadarma akhirnya buka suara mengenai polemik internal kampusnya yang menyulut demonstrasi ribuan mahasiswa pada Senin (9/3/2020) lalu.
Ribuan mahasiswa itu meliburkan diri dan pilih berunjuk rasa di Kampus D Gunadarma, Jalan Margonda Raya, Depok.
Bahkan, mahasiswa Gunadarma dari kampus Karawaci hingga Kalimalang pun ikut dalam barisan.
Dalam demonstrasi besar-besaran itu, Aliansi Mahasiswa Gunadarma menyampaikan 7 butir tuntutan terkait pembenahan sistem kampusnya yang dianggap merugikan.
Baca juga: Ubah Rasio Cicilan Biaya Kuliah, Universitas Gunadarma Klaim Tekan Jumlah Penunggak
Tujuh tuntutan itu meliputi sistem pembayaran kuliah, transparansi anggaran, penerapan statuta, kejelasan program sertifikasi profesi, perbaikan fasilitas, pelibatan mahasiswa dalam perumusan kebijakan, dan kesejahteraan karyawan.
Manajemen Universitas Gunadarma baru mau buka mulut sehari setelah demonstrasi diselesaikan dengan dialog langsung berupa audiensi mimbar bebas dengan rektorat hingga malam hari.
Audiensi itu berjalan mulus, kedua pihak disebut mencapai titik temu, ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman.
Hasilnya, ada sejumlah kebijakan yang berubah menanggapi tuntutan mahasiswa itu. Meskipun ada sebagian tuntutan lain yang belum bisa dipenuhi.
Dari tujuh tuntutan yang disampaikan ribuan mahasiswa, perihal sistem pembayaran kuliah menjadi soal yang paling mendesak.
Baca juga: Universitas Gunadarma Kembalikan Pembentukan BEM Tingkat Universitas ke Mahasiswa
Mulanya, sistem cicilan "pecah blanko" diterapkan sejak krisis moneter 1998 guna meringankan beban mahasiswa Universitas Gunadarma dalam membayar kuliah.
Namun, belakangan, rasio cicilan pertama-kedua yang awalnya 50-50, diubah oleh manajemen kampus jadi 70-30, disertai perubahan sanksi yang dianggap mengancam kelangsungan studi mahasiswa.
Hasil audiensi mimbar bebas dengan mahasiswa hingga malam hari, manajemen Universitas Gunadarma menyatakan telah mengembalikan sistem pecah blanko dari rasio cicilan 70-30 yang dianggap memberatkan ke rasio awal 50-50.
"Ada mispersepsi yang tidak tersampaikan, sehingga seolah-olah mereka akan dicutikan," ujar Kepala Biro Adminstrasi Perencanaan dan Sistem Informasi Universitas Gunadarma, Budi Hermana dalam konferensi pers, Selasa (10/3/2020).
Baca juga: Dianggap Mahasiswa Tak Transparan Kelola Anggaran, Ini Respons Universitas Gunadarma
Budi menjelaskan bahwa nilai yang tak muncul karena mahasiswa gagal melunasi pembayaran bukan hangus, melainkan tak bisa dilihat internal.
"Sebenarnya mereka (mahasiswa) enggak dirugikan, tapi kebijakan ini belum tersosialisasi dengan baik," klaim Budi.
"Pemberlakuan secara efektif dimulai per semester genap tahun akademik 2019/2020," ia menambahkan.
Ditanya soal alasan di balik perubahan rasio cicilan dari 50-50 ke 70-30, Budi tak punya penjelasan yang cukup memadai. Menurut dia, itu hasil kesempatan internal belaka.
"Itu kebijaksanaan saja. Kami kan maunya bisa bayar 100 persen. Pertimbangannya (perubahan rasio cicilan) kan sebenarnya mereka sudah ikut kuliah. Posisinya harusnya kan mereka bayar full," ujar Budi, mengakui bahwa keputusan itu tanpa melibatkan mahasiswa.
Baca juga: Mahasiswa Protes Urus Kuliah Harus di Depok, Gunadarma: Tak Semua Bisa Didigitalisasi
"Tapi rasanya perubahan itu tidak terlalu prinsip. Kalau memang berat ya sudah jadi 50-50," kata dia.
Budi pun mengakui bahwa Manajemen Universitas Gunadarma butuh waktu untuk menciptakan pemerataan fasilitas di setiap kampus Gunadarma di berbagai region yang ada, seperti yang didesak mahasiswa.
Salah satu bentuk tidak ratanya fasilitas kuliah yang disorot ialah beberapa sistem administrasi masih harus diisi manual di Kampus D, Margonda, Depok.
Mahasiswa merasa jengah.
"Padahal kadang-kadang, mahasiswa sudah jauh-jauh dari kampus di Kalimalang, di Margonda tutup loketnya," ucap salah satu mahasiswa yang enggan menyebutkan namanya, Senin siang.
Budi menanggapi, untuk beberapa urusan memang mahasiswa harus mengurus administrasi secara manual di Depok.
Baca juga: Ini Pertimbangan Universitas Gunadarma Ubah Skema Cicilan
"Kan tidak semua pelayanan bisa digitalisasi. Karena kan perlu konsultasi ke jurusan, kan wajar jika stafnya di Depok tapi mahasiswanya ada di Karawaci dan sebagainya," kata Budi.
"Pelayanan face to face dan sebagainya kami kan tidak ada di semua lokasi. Bagian keuangan misalnya, kan hanya di Depok. Urusan keuangan kan tidak bisa diselesaikan dengan online," ia menambahkan.
Budi menegaskan bahwa beberapa layanan mahasiswa di Universitas Gunadarma sudah berupa digital.
Ia menyebutkan beberapa jenis pelayanan yang bisa diakses secara daring, semisal melacak riwayat pembayaran, melihat nilai, mendaftar sidang, dan mengajukan surat permohonan.
Usai berdialog dengan mahasiswa, manajemen Universitas Gunadarma juga mengembalikan pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat universitas ke mahasiswa.
Baca juga: Gunadarma Jawab Demo Ribuan Mahasiswa soal Sistem Pembayaran Kuliah
"Itu sudah ada surat keputusan rektornya. Mereka (mahasiswa) mempertanyakan, kenapa BEM tingkat universitas belum terbentuk. Akhirnya di dalam dialog krmarin dikembalikan ke mahasiswa, ya, silakan karena ini kan demokratis," kata Budi.
Dalam unjuk rasanya, Aliansi Mahasiswa menyoroti soal belum lengkapnya implementasi Pasal 218 ayat 2 yang mengatur soal keberadaan lembaga mahasiswa tingkat universitas.
"Realita yang terjadi di Universitas Gunadarma adalah tidak adanya Senat Mahasiswa Universitas (SMU) atau Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU)," tulis mereka dalam lembar pernyataan sikapnya.
Akibatnya, hari ini mereka hanya punya lembaga himpunan mahasiswa dan BEM tingkat fakultas.
Dalam konferensi pers, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Gunadarma, Irwan Bastian menjelaskan, adanya BEM tingkat fakultas sudah cukup mengakomodasi kebutuhan kegiatan mahasiswa.
Baca juga: Duduk Perkara Ribuan Mahasiswa Universitas Gunadarma Demo Kampusnya Sendiri
"Soal BEM fakultas, kesekretariatan memang betul di Depok. Tapi setiap BEM punya kordinator wilayah, tujuannya untuk mengakomodasi keinginan-keinginan mahasiswa untuk berkegiatan di lokasi kampus masing-masing seperti di Bekasi Karawaci. Itu yang kami akomodir," jelas Irwan.
"Sehingga mahasiswa yang di Karawaci bisa melakukan kegiatan kegiatan ekstrakurikuler di kampus sendiri," ia menambahkan.
Budi mengklaim bahwa Gunadarma selalu transparan soal pengelolaan anggaran. Maka, ia mengaku tak gentar menyetujui tuntutan mahasiswanya yang ingin agar kampus mereka buka-bukaan soal anggaran.
"Sebagai institusi di bawah kementerian dan institusi swasta yang dikelola oleh yayasan, keuangan kami diaudit oleh lembaga kompeten," ucap Budi.
Dalam tuntutannya, Aliansi Mahasiswa Universitas Gunadarma mendesak manajemen kampus membeberkan semua anggaran secara rinci.
Mereka ingin alokasi anggaran untuk biaya perkuliahan hingga dana kemahasiswaan ditelanjangi dalam situs online yang dapat diakses oleh mahasiswa.
"Akan kami sampaikan melalui locker digital atau semacam informasi yag bisa mereka akses masing-masing," kata Budi.
"Sebenarnya bagi kami tidak ada yang disembunyikan, karena itu tadi. Setiap tahun kami pun diaudit oleh lembaga publik. Pajak pun kami taat," ia menambahkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.