Setelah hampir putus asa menanti, dokter kemudian memeriksanya dan setelahnya diperbolehkan kembali ke kantor. ”Selang 20 menit kemudian, saya dihubungi kembali agar datang ke puskesmas. Katanya mau ambil sampel,” ujar Padmi.
Saat tiba di puskesmas, sekitar pukul 15.00 WIB, dia diminta kembali ke tempat semula. ”Saya kepikiran, kalau tidak kena corona, saya bakal kena demam berdarah. Sekitar dua jam, ada orang berpakaian tertutup, mungkin dokter, melongok dari jarak 2 meter, tetapi menghilang lagi,” ujarnya.
Baru setelah empat jam menunggu, Padmi akhirnya dirujuk ke salah satu rumah sakit umum daerah (RSUD).
”Saya menunggu lagi. Akhirnya setelah pukul 21.00 WIB, setelah tidak ada kejelasan, saya pulang. Saya kelaparan. Sampai di rumah ada pesan di telepon saya dari rumah sakit, meminta maaf atas ketidaknyamanannya,” tuturnya.
Hari berikutnya, Kamis, 12 Maret, Padmi dihubungi oleh dokter puskesmas di sekitar tempat tinggalnya di Jakarta Utara. Di sana Padmi dan semua keluarga pasien yang kontak langsung diambil sampel melalui swab.
“Lega saya… ada kemajuan. Namun, setelah tiga hari, belum ada hasil pemeriksaan laboratorium. Saya tanya puskesmas tidak tahu karena yang berhak memberitahukan dinas kesehatan,” lanjutnya.
Akhirnya Padmi menelepon 112, yang kemudian justru balik mengatakan, ”Seharusnya pihak puskesmas memberitahukan hasil.” Tak hanya itu, operator di seberang juga menjelaskan, ”Jika nanti Ibu positif, kami hanya akan mengambil swab adik Ibu.”
Jawaban ini membuat Padmi tambah panik. ”Mudah-mudahan dan saya berharap negatif… kondisi saya sampai hari ini stabil dan demam mulai turun,” kisahnya.
Namun, sampai Selasa (17/3/2020) atau lima hari setelah diambil sampelnya, Padmi tak mengetahui hasilnya. Selama itu pula, dia sebisa mungkin mengisolasi diri.
”Saya menghubungi 112, 119, Posko KLB, dan Litbangkes. Saya hanya butuh kepastian karena hasilnya juga memengaruhi orang-orang di dekat saya. Saya tidak ingin menulari orang lain,” tuturnya.
Keresahan yang sama di media sosial
Ketidakpastian dan kebingungan rupanya tak hanya dialami Padmi. Di media sosial, banyak beredar kisah orang-orang yang kesulitan saat hendak memeriksakan diri terkait corona ini.
Para jurnalis yang memiliki riwayat kontak dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, yang dinyatakan positif corona, juga ditelantarkan saat hendak memeriksakan diri di satu rumah sakit di Jakarta, Minggu (15/3/2020).
Meski sudah mengisi formulir riwayat perjalanan ke daerah terinfeksi dan riwayat kontak, tak ada dokter yang memeriksa mereka sehingga kembali pulang.
Sebagian lagi yang diperiksa dipulangkan untuk isolasi mandiri sebelum keluar hasil tes pemeriksaannya dengan alasan kapasitas ruang isolasi yang terbatas.
”Saya diperiksa di UGD (unit gawat darurat) karena ada gejala demam dan batuk di rumah sakit, tetapi kemudian diminta pulang sebelum ada hasil swab karena kapasitas ruang isolasi terbatas. Diminta isolasi mandiri, saat ini radang walaupun demam turun,” kata salah seorang jurnalis itu.
Luki, bukan nama sebenarnya, wartawan stasiun televisi swasta yang juga memiliki riwayat kontak dengan Budi, bahkan turut mengikuti penjemputan anak buah kapal (ABK) Diamond Princes di Bandara Kertajati pada 1 Maret 2020. Infografik: Beda Batuk, Pilek, Alergi, dan Gejala
Baca juga: Pasien Covid-19 Merasa Ditelantarkan, Pemerintah Minta Rumah Sakit Jaga Etika
Ia juga kesulitan memeriksakan diri. ”Saya dan reporter saya datang ke rumah sakit dan bayar Rp 690.000 untuk pemeriksaan darah dan rontgen, kemudian diberi surat keterangan sehat,” ujarnya.
Dia tahu, tes darah dan rontgen itu hanya untuk mengetahui gejala sakit secara umum, bukan untuk corona. Karen itu, dia meminta diambil swab.
”Tapi tidak bisa, antreannya panjang. Saat ini prioritas yang gejala parah. Saya dianggap sehat, tetapi saya tidak yakin apakah bebas corona. Bukankah infeksi virusnya bisa tanpa gejala?” keluhnya.
”Ini jadi seperti proyek rumah sakit saja. Kalau hanya dapat keterangan surat sehat seperti ini, harusnya cukup di puskesmas, tidak perlu di rumah sakit besar rujukan corona,” kata Luki.
Penjelasan pemerintah