Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelum Karantina Wilayah, Pemerintah Harus Punya Data Akurat Warga Miskin Penerima Bantuan

Kompas.com - 30/03/2020, 16:07 WIB
Vitorio Mantalean,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo mendesak pemerintah agar melakukan pendataan secara cermat sebelum memutuskan karantina wilayah.

Pendataan ini krusial untuk menentukan nasib kalangan miskin dan rentan yang kemungkinan tak mampu memperoleh pemasukan harian, imbas merosotnya aktivitas saat karantina wilayah.

"Sebelum apapun kebijakan dilakukan, harusnya ada social mapping. Kesiapan menjadi penting," kata Imam kepada Kompas.com, Senin (30/3/2020).

Baca juga: Karantina Wilayah Dianggap Lebih Efektif jika Dimulai dari RT dan RW

"Jadi kalau sekarang baru mulai didata, mungkin pada dasarnya bisa dimulai dulu dari data pelanggan PLN yang di bawah 450 watt. Dari situ ketahuan, masyarakat yang kekuatan ekonominya relarif di bawah," lanjut dia.

Meski demikian, data itu belum tentu sepenuhnya akurat. Oleh karenanya, langkah cepat dan sigap harus segera ditempuh dalam waktu dekat.

Aparat pemerintah, mulai dari tingkat camat hingga RT diminta berkoordinasi sesegera mungkin dan langsung turun ke lapangan untuk memverifikasi data soal kalangan miskin yang butuh perhatian lebih.

"Kalau perlu, aktivis sosial turun di wilayah itu," kata Imam.

Hasil pendataan itu bakal menghasilkan suatu peta yang di dalamnya akan terlihat pola wilayah atau klaster masyarakat prasejahtera yang mesti diperhatikan lebih.

Imam berujar, jika peta ini berhasil diperoleh, tinggal langkah pemerintah menentukan teknis penyaluran bantuan dan dukungan.

Pemerintah bisa mengambil opsi diskon biaya listrik atau air seperti kebanyakan negara yang telah mengambil kebijakan lockdown.

Pemerintah bisa pula memberi masing-masing dari mereka tanda pengenal, semisal berbentuk kupon, untuk ditukar dengan paket sembako.

"Sembako itu bisa diantar 3 hari sekali dari pintu ke pintu untuk masyarakat prasejahtera. Malah itu pasukan ojol bisa dikerahkan dan mereka dapat pemasukan juga," jelas Imam.

"Tetapi sekali lagi, pendataan harus bagus dan mereka yang berhak itu punya kupon, misalnya," ia menegaskan.

Sebelumnya, desakan yang sama juga dilontarkan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).

Sekretaris Jenderal Fitra, Misbah Hasan berujar, banyak pekerja yang karena bekerja di sektor informal, tidak terdata dengan baik, seperti tukang ojek, pedagang kaki lima, kuli bangunan, hingga sopir angkot.

Baca juga: Pemkot Tangsel: Karantina Wilayah Harus Dipertimbangkan secara Matang

Menurut dia, pendataan yang tidak matang kelak berpotensi membuat penyaluran BLT tidak tepat sasaran.

"Misalnya tukang ojek. Ada yang masuk di data Gojek, Grab, atau aplikasi ojek lain, tapi ada juga tukang ojek pangkalan yang agak sulit didata. Ini yang sering menimbulkan konflik horisontal antar tukang ojek," tutur Misbah melalui keterangannya pada wartawan, Jumat (27/3/2020).

Menurut dia, penetapan data penerima manfaat BLT, harus transparan dan melibatkan organisasi kemasyarakatan, dan kelurahan/desa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com