Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaum Miskin Kota Sekarat, Mati karena Corona atau Mati Kelaparan

Kompas.com - 10/04/2020, 12:24 WIB
Wahyu Adityo Prodjo,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

Ia baru mendapatkan uang sebesar Rp 30.000 dari hasil penjualan satu botol air mineral dan sebungkus rokok saat wawancara ini dimulai.

Baca juga: Akibat Covid-19, Mayoritas Usaha Pangkas Rambut Garut di Jakarta Tutup

“Dipakai makan udah habis uang. Sepi gini selama pertama ada corona. Jualan begini yang ada modal abis. Paling dapat 50 ribu. Apalagi kalau diem di rumah, kontrakan belum dibayar,” kata Sutrisno yang berperawakan umur 65 tahunan.

Berbicara tentang corona ia bernada tinggi. Sutrisno kecewa dengan berbagai berita tentang corona yang membuat masyarakat takut keluar.

Ia langsung meninggalkan gerobaknya sambil terus merapal dan duduk di pinggir jalan sambil menyulut api ke rokoknya.

"Takut kok sama corona, takut sama Tuhan. Urusan ajal udah diatur,” ujar Sutrisno dengan nada pasrah.

Fakta demikian memang banyak ditemukan di lapangan. Keputusasaan masyarakat miskin menghilangkan logika.

Bagi mereka, urusan perut dan makan anak dan istri seperti berharga dibandingkan nyawa.

Masih lekat di ingatan kita, pada akhir Maret lalu Menteri Keuangan Jerman untuk negara bagian Hesse, Thomas Schaefer, bunuh diri karena diduga putus asa menanggung dampak ekonomi virus corona.

Tak hanya pedagang, warga Kampung Muka juga ada yang bekerja sebagai buruh bangunan. Sutrisno salah satunya. Ia merupakan kuli bangunan yang sudah tak bekerja saat kebijakan physical distancing didengungkan.

Ia pun hanya tinggal di rumah di tengah bencana non-alam saat ini. Pekerjaannya tak bisa ia lanjutkan. Proyek pengerjaan bangunan tempat ia bekerja sementara ditangguhkan.

“Sehari-hari jadi mati total pemasukannya. Kita kan gak (bisa) hidup sama sekali, Pak,” ujar Sutrisno sambil disahuti kokokan ayam.

Sutrisno tinggal tak jauh dari sisi lapangan bola Kampung Muka. Masyarakat sekitar mengenal lapangan itu dengan nama Tanah Merah.

Baca juga: Polisi Kawal Distribusi Logistik dan Kebutuhan Pokok Selama PSBB Jakarta

Setiap sore warga Kampung Muka berkumpul di lapangan untuk berbagai aktivitas seperti bermain sepak bola, burung dara, layangan, bersenda gurau, mengasuh anak-anak, makan angin, atau melamun memikirkan nasib.

Anak-anak di Kampung Muka sore itu pun tampak tak peduli dengan imbauan physical distancing. Mereka asyik berlarian ke sana ke mari seperti Lionel Messi atau mungkin berlaga bak Sergio Ramos.

Untuk mencegah penularan virus corona lewat droplet (tetesan air liur) di Kampung Muka juga sudah pasti sulit. Bayangkan bisa terjadi physical distancing rumah yang sempit dan berhimpitan.

Sementara, para perempuan duduk di bagian belakang truk kontainer sambil tertawa riang. Bagi mereka, keceriaan ini mungkin adalah obat penolak bala yang manjur.

Mereka hampir bisa dipastikan tak bisa menikmati event-event online yang banyak digelar di aplikasi Zoom atau Google Hangout. Tatap muka bagi anak-anak Kampung Muka adalah keseharian yang ditemui di pintu-pintu rumah kontrakan yang berhimpitan.

Jangan bayangkan, ada rumah-rumah dengan luas ratusan meter persegi di Kampung Muka. Potret ini, ironinya berada di balik gedung-gedung pencakar langit Ibu Kota.

Anak-anak di lapangan Tanah Merah harus berbagi tempat dengan truk-truk berukuran besar. Sutrisno bilang, lapangan itu juga menjadi tempat parkir truk-truk muatan barang.

Baca juga: Denda Rp 100 Juta atau 1 Tahun Penjara bagi Pelanggar PSBB DKI Jakarta

Setiap hari truk-truk itu parkir sebelum pergi ke kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, dan kota lainnya.

“Kalau sore biasanya jalan. Tapi karena corona ini, truk-truknya ga pada jalan,” ungkap Sutrisno yang berumur sekitar 40 tahunan.

Boleh dibilang, lapangan ini adalah mal-nya warga Kampung Muka. Saat itu, ada banyak warung-warung jajanan semi permanen.

Stan-stan makanan berupa gerobak bakso, susu jahe, cilok, dan lainnya kebetulan hanya parkir dan tak melayani pengunjung.

Warga lainnya ada yang sedang bengong, menjual layangan dan benang gelasan yang hampir tepo, dan juga menggendong bayi. Sesekali penjual air bersih dengan celana bahan belel dan handuk di lehernya lalu lalang menjual seharga Rp 4.000 per dirigen.

Gerobak-gerobak bertuliskan “Telor Gulung”, “Mie Ayam Bakso”, dan rokok keliling berpayung warna-warni terparkir di pinggir lapangan dan di depan rumah bedeng.

Motor-motor juga terparkir berjajar dan berdampingan dengan jemuran-jemuran. Sebuah wajah kampung yang lazim di temui area perkampungan padat di Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

Megapolitan
Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Megapolitan
Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan 'Live' Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan "Live" Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Megapolitan
Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Megapolitan
Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Megapolitan
Banjir di 18 RT di Jaktim, Petugas Berjibaku Sedot Air

Banjir di 18 RT di Jaktim, Petugas Berjibaku Sedot Air

Megapolitan
Kronologi Penangkapan Pembunuh Tukang Nasi Goreng yang Sembunyi di Kepulauan Seribu, Ada Upaya Mau Kabur Lagi

Kronologi Penangkapan Pembunuh Tukang Nasi Goreng yang Sembunyi di Kepulauan Seribu, Ada Upaya Mau Kabur Lagi

Megapolitan
Kamis Pagi, 18 RT di Jaktim Terendam Banjir, Paling Tinggi di Kampung Melayu

Kamis Pagi, 18 RT di Jaktim Terendam Banjir, Paling Tinggi di Kampung Melayu

Megapolitan
Ujung Arogansi Pengendara Fortuner Berpelat Palsu TNI yang Mengaku Adik Jenderal, Kini Jadi Tersangka

Ujung Arogansi Pengendara Fortuner Berpelat Palsu TNI yang Mengaku Adik Jenderal, Kini Jadi Tersangka

Megapolitan
Paniknya Remaja di Bekasi Diteriaki Warga Usai Serempet Mobil, Berujung Kabur dan Seruduk Belasan Kendaraan

Paniknya Remaja di Bekasi Diteriaki Warga Usai Serempet Mobil, Berujung Kabur dan Seruduk Belasan Kendaraan

Megapolitan
Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Megapolitan
Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Megapolitan
Banjir dan Fasilitas Rusak, Pekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa: Tolong Perbaiki supaya Banyak Pengunjung...

Banjir dan Fasilitas Rusak, Pekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa: Tolong Perbaiki supaya Banyak Pengunjung...

Megapolitan
Walkot Depok Idris: Saya 'Cawe-cawe' Dukung Imam Budi Hartono di Pilkada

Walkot Depok Idris: Saya "Cawe-cawe" Dukung Imam Budi Hartono di Pilkada

Megapolitan
Jakarta yang Terbuka Lebar bagi Para Perantau, tetapi Jangan Nekat...

Jakarta yang Terbuka Lebar bagi Para Perantau, tetapi Jangan Nekat...

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com