Masalah kemudian muncul terkait manajemen data. Waktu yang singkat memaksa Pemerintah Kota Depok tak bisa melakukan verifikasi langsung ke lapangan guna memeriksa validitas data para penerima bansos.
Baca juga: Sepekan PSBB di Depok, IDI Dorong Screening Massal dengan Tes PCR Covid-19
Dari sekitar 250.000 KK yang diusulkan menerima bansos untuk kategori non-DTKS, Pemerintah Kota Depok hanya menyanggupi 30.000 KK dengan bansos berupa uang tunai Rp 250.000 per KK.
Sebanyak lebih dari 220.000 KK tersisa akan dilimpahkan ke Pemprov Jawa Barat dan pemerintah pusat. Pencairan bansos untuk mereka tak jelas kapan waktunya. Padahal, 220.000 KK yang belum kebagian bansos itu harus menahan lapar.
Fenomena itu berkebalikan dengan pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dalam lawatannya ke Depok pada hari perdana penerapan PSBB.
“Bantuan dari negara (ada) banyak. Tidak boleh ada orang yang kelaparan di Depok,” ucap dia waktu itu.
Dengan seretnya aliran bansos, para pekerja sektor informal, sebagai kalangan yang paling rentan terdampak PSBB, mulai menjerit.
Sopir angkot, salah satunya. Edi Irwan, salah satu sopir angkot nomor 06 Kota Depok mengungkapkan pendapatannya menukik tajam sejak PSBB diberlakukan.
Pasalnya, ada aturan bahwa ia hanya boleh mengangkut penumpang kurang lebih separuh kapasitas mobil, ditambah dengan menurunnya jumlah warga yang bepergian.
"Sekarang Rp 30.000 untuk dibawa pulang. Demi Allah. Itu hasil narik (kerja) satu hari. Biasanya kami bawa pulang Rp 90.000-110.000 sehari. Saya anak 2, istri 1. Bayangkan saja, anak masih sekolah," tutur dia, Selasa (21/4/2020).
Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Depok M Hasyim menyatakan, ada lebih dari 2.000 sopir angkot di Depok, Jawa Barat, yang saat ini menanti bansos dari pemerintah.
Mulai timbul kecemburuan di antara mereka, karena para sopir angkot merasa pemerintah lebih banyak menaruh perhatian pada pengemudi ojek online. Sebuah tanda bahwa kemelut ekonomi berpotensi mengarah pada kemelut sosial.
“Ridwan Kamil kan bilang, rakyat Jawa Barat jangan sampai kelaparan, tapi realisasinya tidak ada. Di RT/RW juga hanya berapa persen yang dapat (bantuan). Teruslah kami ini mencari rezeki juga dipersempit,” kata Edi.
“Anak istri kami mau makan apa?”
Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok, Roy Pangharapan menilai, pelaksanaan PSBB di Kota Depok hanya berkutat di jalan raya saja. Pemerintah sibuk menggaungkan instruksi bertahan di rumah bagi warga tetapi alpa menunaikan tanggung jawab memastikan kesejahteraan warga yang kehilangan nafkah harian.
Padahal, persoalan itu sangat serius. Roy mencontohkan kasus Yuli Nurmelia, seorang warga miskin di Serang, Banten, yang meninggal dunia setelah hanya mengasup air putih 2 hari sebelum ajal menjemput. Walau kemduain kematian Yuli diklaim “karena serangan jantung”.
Usulan agar Yuli menerima bansos ditolak oleh pemerintah hingga ia tutup usia, walaupun Pemerintah Kota Serang mengklaim telah mengirimkan bantuan baginya.
“PSBB adalah alat untuk menekan jumlah pasien Covid-19. Caranya semua disiplin tinggal di rumah. Tapi harus pastikan rakyat tidak mati kelaparan dengan membagikan bansos tepat sasaran," ujar Roy, Selasa malam.
" Tapi sebulan lebih enggak kerja, tapi juga enggak dapat bansos. Akhirnya mereka nekad keluar rumah, kerja, cari makan. Kalau memilih disipin, maka mati kelaparan seperti di Banten," imbuh dia.
Keadaan menjadi serba dilematis.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Depok, Alif Noeriyanto justru mendesak aparat pemerintahan lebih tegas dalam menerapkan PSBB.