JAKARTA, KOMPAS.com – Epidemiolog Iqbal Elyazar menganggap publik sebaiknya berhati-hati menyikapi klaim bahwa kasus Covid-19 telah melambat.
“(Kurva kasus Covid-19) harus menurun bulan depan tidak apa-apa, itu kan target. Tapi klaim bahwa dia turun, itu yang harus kita berhati-hati,” ujar Iqbal dalam sebuah seminar virtual, Selasa (12/5/2020) siang.
Ia menegaskan, bukan berarti pemerintah mengelabui publik dengan data yang diumumkan setiap hari. Data pemerintah, lanjut Iqbal, sudah bagus dan komprehensif.
Masalahnya, selama ini pemerintah tidak mengacu pada kurva epidemiologis, melainkan sekadar kurva pertambahan kasus harian yang berasal dari pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium ke Litbangkes Kementerian Kesehatan RI.
Baca juga: Kendaraan Travel Gelap Baru Bisa Diambil Pemiliknya Setelah Sidang Tilang
Padahal, ada perbedaan mendasar antara kurva epidemiologis dengan kurva yang saat ini dipakai pemerintah.
"Membaca fluktuasi ini sulit karena mengandalkan data pelaporan. Laporan hasil laboratorium tidak berhubungan dengan frekuensi jumlah kasus baru, karena tergantung laboratorium, kapan hasil tes Covid-19 dilaporkan,” jelas dia.
"Bisa saja Sabtu (hasilnya) sudah ada. Lalu, karena Minggu libur, dia (laboratorium) kirim Senin. Ada jeda waktu pemeriksaan yang sekarang (menunggu) lumayan lama (hingga keluar hasilnya). Banyak sebab, alat (pemeriksaan) mungkin ada, tapi bahannya tidak ada. Banyak sekali faktor jika kita menggunakan ini untuk menilai kasus sudah turun atau belum,” tambah dia.
Singkatnya, saat pemerintah mengumumkan penurunan/perlambatan kasus Covid-19, penurunan/perlambatan bisa jadi tak mencerminkan keadaan pada tanggal tersebut, melainkan cermin dari situasi beberapa hari sebelumnya.
Baca juga: Pemprov DKI: Perusahaan yang Tak Mampu Bayar THR Harus Dialog dengan Pekerja
Pemerintah seharusnya mengacu pada pertambahan kasus harian Covid-19 versi kurva epidemiologis yang jauh lebih representatif.
Soalnya, kurva epidemiologis dirumuskan berdasarkan tanggal seorang pasien mulai bergejala atau diambil sampelnya untuk diteliti di laboratorium.
Dengan demikian, datanya tidak terganggu oleh kendala-kendala dalam pemeriksaan di laboratorium yang membuat hasilnya kurang representatif.
“Untuk menilai kurvanya turun atau belum, jangan gunakan tanggal pelaporan, tapi tanggal diagnosis. Ini poin pentingnya,” ujar Iqbal.
Data tak meyakinkan karena kapasitas tes Indonesia sangat terbatas.
Di samping itu, kurva yang saat ini dipakai pemerintah juga kurang menggambarkan fakta di lapangan karena kapasitas tes Covid-19 masih sangat terbatas.
Baca juga: Benarkah Kasus Positif Covid-19 di DKI Jakarta Menurun seperti Klaim Pemerintah?
“Untuk membaca kurva harian, kita butuh jumlah pemeriksaan di situ. Selagi jumlah kasus (diklaim) kecil, kecil, kecil, karena memang tidak diperiksa atau banyak yang belum diperiksa. Misalnya di Nusa Tenggara Timur masih belasan (kasus positif Covid-19). Memang di situ bisa diperiksa berapa banyak (orang)?” tutur Iqbal.
“Malaysia sudah memeriksa 7 dari 1.000 orang. Indonesia di bawah 1. Seandainya Malaysia, atau Korea Selatan mengklaim bahwa tidak ada kasus baru, saya lebih yakin karena mereka sudah memeriksa lebih banyak orang,” lanjut dia.
Berdasarkan data yang dihimpun secara aktual dalam laman Worldometers pada Selasa, rasio tes Covid-19 Indonesia paling buruk di antara 3 negara lain dengan populasi terbanyak di dunia (kecuali Cina yang tak mempublikasikan data), yakni India, Amerika Serikat, dan Brazil.
Setiap 1.000 penduduk, Amerika Serikat memeriksa 29 orang, Brazil memeriksa 1,6 orang, India memeriksa 1,2 orang.
Baca juga: Ini Sanksi Denda Pelanggar PSBB di Jakarta, mulai Rp 250.000 hingga Rp 10 Juta
Sementara itu, Indonesia hanya mampu memeriksa 0,6 orang per 1.000 penduduk. Rasio tes Covid-19 sekecil itu setingkat dengan Namibia di Benua Afrika.
Di level ASEAN, masih dari sumber data yang sama, kapasitas tes Covid-19 Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang Timor Leste dan Laos (0,5/1.000).
Iqbal menyebutkan, data untuk menyusun kurva epidemiologis sebetulnya sudah dimiliki di dinas-dinas kesehatan di tingkat daerah.
Ia menduga, para pemangku kepentingan di level pusat termasuk di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional tengah berupaya mengintegrasikan data-data yang terpencar itu.
Harapannya, pemerintah segera dapat memublikasikan kurva epidemiologis yang berperan krusial sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebijakan yang presisi.
Baca juga: Pergub Baru Anies, Warga Didenda Maksimal Rp 250.000 jika Tak Pakai Masker Saat Keluar Rumah
“Teman-teman di bidang pemodelan sangat perlu informasi ini untuk menghitung dan memperkirakan puncak pandemi, jumlah kematian, jumlah kebutuhan ventilator, hingga jumlah tempat tidur (rumah sakit), dan dokter,” ungkap Iqbal.
“Karena dari latar belakang statistik, menggunakan pengujian berbasis data normal padahal datanya tidak normal kan kita harus mengingatkan, agar jangan pakai data itu. Sebab, kesimpulannya menjadi salah,” ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.